Halaman

Kamis, 27 Desember 2012

Jatuh Cinta dengan Logika

Ya, aku jatuh cinta padamu. Rasanya kalimat itu tak hanya membuat lidahku kelu. Namun juga membuat jariku kaku. Jariku yang beberapa bulan belakangan ini berperan aktif menyampaikan pesanku padamu. Jariku yang setengah mati menahan agar huruf r, i, n, d, & u di keypad tidak terpencet secara berurutan. Jariku yang seringkali tak sabaran menahan lincah geraknya, demi menunggu otaku yang masih terus berpikir, memilah, & memilih kata apa yang paling tepat untuk kusampaikan padamu.

Bagiku, cinta itu harus pakai otak. Cinta itu harus tetap menggunakan logika. Toh berpikir logis tidak akan mengurangi cinta yang dalam dan manis. Sebaliknya, dia menjadikan cinta kuat, anggun, teguh. Bukannya mengumbar air mata dengan kisah cinta yang tak sampai, apapun alasannya. Budaya? Nilai? Keluarga? Apapun itu, jika logika memutuskan tak hendak memperjuangkan cinta, lalu buat apa dia dipertahankan? Atas nama pengorbanan? Bukankah cinta seharusnya membahagiakan?

Aku jatuh cinta padamu belum begitu lama. Kalaupun sudah menginjak tahun, mungkin baru saja melewati tahun pertama. Perasaan itu datang, jujur bukan karena ada getar yang kurasakan setiap aku di dekatmu. Apalagi sampai memimpikan senyummu. Toh kenanganku tentangmu lebih banyak tentang ungkapan kesal, nada mengkritik, atau tatapan menyebalkan, ketika ada hal yang kamu tak suka.

Aku jatuh cinta padamu karena pemikiranmu. Karena caramu melihat hidup, memandang persoalan, dan menyikapinya dengan lentur, namun tetap 'bersikap.' Aku jatuh cinta padamu melalui diskusi-diskusi kita, melalui untaian kata yang kau rangkaikan lalu kubaca, melalui sikap, tanduk, cara, langkahmu yang kuperhatikan diam-diam.

Mengenalmu, entah kenapa membuatku percaya. Bahwa ada seseorang yang bisa memahami pemikiranku, kedaulatanku atas diriku sendiri, & harapanku tentang relasi perempuan-laki2,  istri-suami yang ideal. Karena itu aku jatuh cinta. Jatuh cinta dengan segala logika, jatuh cinta secara sadar dan rasional.

Maka rasioku terus membututi jari jemariku. Agar tetap menjaga sikapnya, agar tidak mengirimkan sinyal yang belum waktunya menyala. Rasio yang mengolah cinta dan rindu, menjadi keseharian biasa, tanpa harus menggebu, tanpa harus menuntut. Aku menunggu, aku menahan. Bukan berarti aku tak mau berjuang. Hanya saja aku belum selesai membacamu.

Pada saatnya nanti, bila lembar-lembar bukumu telah habis kubaca. Jika aku berhasil sampai ke endingnya, bisa jadi cintaku terungkap, cintaku terjawab, cintaku terbalas.

Namun jika tidak, biar aku menikmati kembali rasanya patah hati, menggali pembelajaran untuk melangkah lebih pasti. Patah hati hanya proses yang harus dilewati, sedang bangkit adalah keniscayaan. Begitulah logikaku menjanjikan.

Rabu, 17 Oktober 2012

Buat Apa

Ada seseorang yang membuatku menyetel aplikasi skype untuk selalu sign in begitu aku menyalakan leptop. Dia pergi, membawa pesanku untuk meng add akunku. Benar saja, tak lama dia mengadd, dan akupun menerimanya. Sejak saat itu, akunku selalu menyala, seiap saat leptop ini menyala

Namun buar apa, akunku selalu sedia, buat apa namanya tertera di list kontakku, kalau dia tak pernah menyalakan akunnya, dan kami tak pernah bersapa lagi di dunia maya.

Selasa, 18 September 2012

Cinta di Atas Bukit 3


Topeng di wajahku semakin menipis. Aku melangkahkan kakiku cepat-cepat meninggalkan gerbang sekolah. Syukurlah tak banyak kawan yang kukenal yang harus kulewati. Entah apa aku masih bisa mengumbar senyum di tengah kegundahan dan kesedihan hati ini.

Aku berlari kecil menuju gundukan tanah menyerupai bukit di belakang gedung sekolahku. Tempat di mana aku tanpa sepengetahuan kawan-kawanku biasa menghabiskan sore sendirian. ‘Bukit’ ini tidak terlalu jauh dari sekolah, namun entah kenapa tidak banyak orang yang datang ke sini. Mungkin desas-desus mengenai keangkeran tempat ini membuat dia kehilangan pengungjung. Meski demikian ‘bukit’ ini masih memiliki seorang pengunjung setia. Aku.

Sesampainya di puncak, aku langsung duduk di bawah satu-satunya pohon di sini. Menumpahkan segala gundah dan kesedihan melalui air mata yang kini tumpah tanpa bisa kutahan. Kulepaskan topeng yang sedari tadi kukenakan. Tidak ada lagi senyum yang terpaksa kulengkungkan. Tidak ada lagi keceriaan yang kubuat-buat selama seharian ini.

Pagi tadi aku terbangun dan mendapati Mama sedang berbicara di telefon dengan seorang Bude.
“Aku sudah tidak bisa lagi mempertahankannya, Mbak. Hatiku selalu sakit ketika membayangkannya tidur dengan perempuan lain.” Suara Mama seketika berubah menjadi isakan kecil. Mama hening sejenak sebelum melanjutkan, “aku rasa satu-satunya jalan adalah cerai. Besok aku akan urus ke pengadilan.”

Aku terhenyak. Tanpa kusadari kututup pintu kamarku dengan cukup keras. Aku kembali ke tempat tidur, menutup kupingku kencang-kencang, dan setengah mati menahan tangisan. Rupanya suara pintu yang kututup menyadarkan Mama bahwa anak semata wayangnya sudah bangun dan mendengarkan percakapan di telefon barusan. Mama langsung menyudahi pembicaraan dengan Bude, dan perlahan masuk ke dalam kamarku.

Aku masih terdiam. Masih dalam posisi kedua tanganku menutupi kupingku. Mama menghampiriku. Tangisannya membuatku tersadar, dan meengok ke arahnya. Mama memeluku, seraya berbisik, “kita harus kuat, Nak. Selama kita berdua kita pasti kuat.” Aku pun membalas pelukannya dan berjanji dalam hati, ‘aku harus kuat di hadapan Mama. Aku tidak boleh menangis di depannya.’

Begitulah, aku tetap menjadi gadis Mama yang ceria, yang tak pernah pelit menumbar senyum dan sapa, dan tak pernah bosan mendengarkan kawan-kawanku yang seringkali berkeluh kesah dengan masalah mereka. Rani yang berkeluh kesah uang jajannya dipotong karena pulang malam, atau Risa yang mengeluh karena tidak dibelikan ponsel keluaran terbaru. Seandainya mereka mengetahui masalahku. Sempat terlintas keinginan untuk menceritakan kepada mereka, tapi sulit rasanya mengungkapkan segala sesuatu yang masih menyesak di dada.

Seharian ini aku tak sabar menunggu bel pulang, agar aku bisa menumpahkan segala air mataku di bukitku. Aku hanya butuh meluapkan segala kesedihanku, melepaskan segala gundahku, agar aku merasa lega. Aku sengaja menyembunyikannya dari sahabat-sahabatku. Aku tidak ingin mereka bertanya-tanya. Aku tak butuh ditanya.

 Tiba-tiba saja aku merasakan ada seseorang yang duduk di sebelahku. Aku mengangkat wajahku dan melihat Ega, salah satu teman sekelasku. Dia tersenyum kaku, namun tidak mengucapkan apapun. Aku hanya membuang mukaku. Berusaha menyembunyikan wajah tanpa topengku. Mengira-ngira apa yang akan dilakukan atau dikatakan oleh Ega.

Namun Ega hanya diam. Bahkan dia tidak memandangiku. Sekilas aku melihatnya memainkan rerumputan yang menjadi alas duduk kami. Sekilas lagi aku melihatnya menerawang menatap angan. Kehadiran Ega begitu hening, seakan dia tidak ingin menggangguku. Namun dia tetap di sisiku. Tak beranjak sedetikpun meski keheningan di antara kami sudah berlangsung hampir empat jam.
Sore lalu beranjak menjadi senja, dan malampun menjelang. Hingga bulan telah muncul dengan sempurna, Ega tetap di sampingku. Akhirnya aku mengangkat wajahku dan mencoba menatapnya. Diapun menatap ke arahku, tersenyum ragu-ragu. Kali ini aku membalas senyumannya. Lalu senyumnya perlahan tak lagi ragu-ragu.

Aku menghela nafas panjang sebelum akhirnya kutemukan bibirku bersuara.
“Ga bosen di sini?” tanyaku pada Ega
“Nggak kok, tempatnya bagus, anginnya juga enak,” jawab Ega.
Sejenak kami terdiam. menikmati apa yang melintas di pikiran kami masing-masing.
“Eh, maaf ya kalo aku ganggu. Aku ga bermaksud ganggu kamu, tapi aku pikir, ga akan aman ninggalin kamu sendirian di sini,” ucap Ega gugup.
Aku tersenyum seraya menjawab, ”kamu sama sekali ga ganggu kok.”

Lalu Ega tersenyum lagi. Detik itu aku menyadari betapa menariknya senyuman Ega. Bersamaan dengan aku menyadari bahwa di balik kacamatanya, ada mata yang begitu teduh menenangkan.
“Kamu sering ke sini?” kata Ega lagi.
Aku menjawab dengan anggukan.
“Hmm, kalau emang aku ga ganggu, boleh aku tetap di sini, nemenin kamu?” tanyanya.
Lagi-lagi aku hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Seraya berbisik di dalam hati, wahai bukitku, kali ini kamu mendapatkan pengunjung baru.

On the night like this, There are so many things I wanna tell you 
On the night like this, There so many things I wanna share you 
Cause when you’re around, I feel safe and warm 
Cause when you’re around, I can fall in love everyday 
In the case like thisThere a thousand good reasons, I want you to stay. 
(On The Night Like This- Mocca)

Sabtu, 15 September 2012

Pertama dan Terakhir


Gigitanku di bibir bawahku semakin keras karena setengah mati menahan tangis. Meski tak sanggup tersenyum, namun takkan kubiarkan sebutirpun air mata jatuh di hadapanmu. Sementara kamu hanya diam memandangiku. Tanpa kamu sadar bahwa aku sudah hampir tak kuat berdiri.

Kamupun menarik napas panjang, sebelum berkata, “Ras, kamu berhak mendapatkan seseorang yang lebih baik.” Akhirnya kalimat klise itu keluar juga dari mulutmu. Kalimat yang membuatku tertawa miris. Dari dulu aku paling muak dengan alasan semacam itu. Jangan kamu pikir aku tak tahu. Intinya kamu berhenti menginginkanku, itu saja. Alasan ‘berhak mendapatkan yang lebih baik’ hanyalah omong kosong.

Namun aku tak mendebatmu. Hanya tersenyum sekilas, dan berlalu meninggalkanmu. Aku tak lagi bertanya-tanya apa yang membuatmu berubah. Tak lagi mencari-cari kesempatan untuk tetap mempertahankan hubungan kita. Kalimat klisemu berarti satu, kita telah usai. Itu saja.

Tiba di rumah, aku menangis sejadi-jadinya. Merasakan segala harapan yang hancur lebur berantakan. Segala gengsi dan tinggi hati yang tadi terjaga rapi di hadapanmu, kini runtuh. Hanya menyisakan air mata dan sesak di dada, yang entah berapa lama harus kurasa. Karena aku masih begitu mencintaimu, sangat mencintaimu.

Bayangan tentangmupun muncul layaknya adegan demi adegan film yang diputar di dalam sanubariku. Dimulai ketika kita pertama kali bertemu. Masih begitu jelas, seakan baru terjadi kemarin.

Hari itu, seperti biasa aku berangkat ke kampus dengan angkutan umum. Di dalamnya tidak terlalu ramai, namun tidak terlalu sepi. Ada aku, kamu yang duduk tepat di depanku, seorang ibu dengan dua anak perempuannya, seorang Bapak bertubuh gempal, dan seorang perempuan muda yang usianya mungkin sama denganku. Di tengah perjalanan, seorang pengamen kecil naik dan menyanyikan lagu Darah Juang. Aku merogoh tas ranselku. Meraih sekotak susu UHT rasa coklat yang memang selalu kusediakan untuk adik-adik kecil yang mengamen di angkutan umum.

Selesai bernyanyi, sang pengamen cilik menjulurkan tangannya untuk meminta recehan. Ketika tangan itu sampai di hadapanku, aku mengulurkan tanganku yang sedari tadi masih tersembunyi di dalam ransel seraya memegang susu coklat untuknya. Namun kulihat susu coklatku tidak sendirian. Ada susu coklat lain yang terulur untuk si pengamen cilik, dengan merk yang sama, ukuran yang sama, bahkan rasa yang sama, dari tanganmu.

Kita pun saling bertatapan dan tersenyum sekilas. Sementara si pengamen kecil tidak segera merih dua susu coklat yang diulurkan kepadanya.
“Eh, saya ambil yang mana ya?” katanya bingung.
“Hmmm, ambil dua-duanya aja Dik,” ucapmu seraya tersenyum hangat.
“Yang satu kan bisa diminum besok, atau bisa juga dibagi ke temanmu,” aku pun ikut menimpali.
Si pengamen kecilpun meraih kedua kotak susunya sambil tersenyum, sebelum kemudian turun dari angkutan umum, dan berlari-lari riang ke tepi jalan.

Sejak detik itu, aku jadi memperhatikanmu. Kamu bukanlah pria tampan dalam khayalanku. Berwajah jawa, berhidung tidak terlalu mancung, dengan celana bahan, dan kemeja sederhana. Hanya saja entah kenapa kesederhanaanmu membuahkan kehangatan.

Tak terasa angkutan umum yang kita tumpangi sudah sampai di depan jalan kampusku. Ternyata bukan hanya jalan kampusku, melainkan jalan kampus kita. kamu turun di tempat yang sama, dan kita menyeberang bersamaan. Akhirnya, kitapun memutuskan untuk berjalan beriringan.
“Kuliah di sini juga? Tanyamu.
“Iya,” jawabku.
“Fakultas apa?” tanyamu lagi
“Fisip. Kamu?” kali ini aku ikut bertanya.
“Teknik,” jawabmu.
Lalu kita sempat terdiam. Canggung, mencari bahan pembicaraan.
Tiba-tiba kamu mengulurkan tanganmu.
“Ohiya, kita belum kenalan. Aku Alan,” ucapmu, lagi-lagi dengan senyummu yang begitu hangat.
“Aku Laras,” ucapku sambil memamerkan senyum termanis yang kumiliki.

Perkenalan kita, yang berlanjut menjadi sebuah pertemanan. Ketika hari-hariku akhirnya selalu diisi denganmu. Berangkat dan pulang kampus bersama, Makan siang di Fakultas Ilmu Budaya, yang letaknya di antara kampusku dan kampusmu, berdiskusi tentang banyak hal, hingga SMS-SMS manis yang setiap hari selalu memenuh inbox HPku.

Tanpa kamu sadari, aku belajar banyak hal darimu. Kamu begitu bijaksana dalam melihat setiap persoalan. Kamu selalu bisa membuatku yakin ketika aku ragu-ragu dalam membuat keputusan. Kamu mengajarkanku untuk berpikir positif, dan berani mengambil kesempatan yang ada di hadapanku. Kamu selalu bisa membuatku bersemangat dan percaya bahwa tak ada yang tak bisa aku lakukan, asal aku mau berusaha.

Aku yang sejak awal terkesan denganmu, kemudian mengagumi, dan secara perlahan namun pasti, jatuh cinta kepadamu. Tak kukira cintaku terbalas. Setelah dua tahun kita saling mengenal, kamu mengungkapkan perasaanmu. Hari itu adalah hari paling bahagia untukku. Kamu cinta pertama untukku, pacar pertamaku, pria pertama yang kuizinkan masuk ke dalam hatiku di usiaku yang tak lagi remaja.

Seandainya kamu ingat. Sesaat setelah kita jadian dulu, kita saling bergenggam tangan, seraya mendengar sebuah lagu. Aku sempat berbisik di telingamu, memintamu menyimak sepenggal lirik lagu itu, “Tuh, dengerin ya Lan.” Kamu hanya tersenyum, seraya membelai rambutku.

Bila suatu saat kau harus pergi
Jangan paksa aku tuk cari yang lebih baik.
Karena senyumu menyadarkanku
Kaulah cinta pertama dan terakhirku
-Sherina-

Rabu, 12 September 2012

Cinta di Atas Bukit 2


Namamu Fajar Pandega. Fajar artinya pagi. Sebagaimana aku selalu menanti pagi yang hangat, seperti itu pula aku menghitung hari menanti kepulanganmu. Semenjak hari itu ketika kita bertemu di bukit belakang sekolah. Sebuah gundukan rumput saja sebenarnya. Tempat kita biasa berbagi cerita, berbagi rasa berbagi mimpi.

Kita duduk berdua di bawah satu-satunya pohon yang ada di sana. Tempat favorit kita, seperti biasa. Tapi ada yang tidak biasa. Kamu tampak gelisah. Tatapan matamu menerawang tak tentu arah. Aku mencoba menerka, namun ternyata aku tak mampu membaca.

Hari ini, kita merayakan kelulusan kita berdua saja. Dalam hening yang menyenangkan, menikmati lagu indah dari semilir angin dan dedaunan yang saling bergesekan. Kamu tahu? Hanya denganmu aku merasa nyaman untuk melakukan apa saja. Bahkan dalam kesunyian di antara kita. Dari dulu aku percaya, kesunyianan bukan berarti canggung. Namun baru denganmulah aku bisa menikmati kesunyian, tanpa kekakuan. Kita tak perlu bicara, hanya duduk berdampingan, dan sama-sama menikmati keindahan yang tercipta di sekitar kita.

Lalu, tiba-tiba suaramu memecah keheningan.
“Kar, setelah wisuda nanti, aku akan langsung meneruskan studiku.”
“Ohya? Wiihh, Hebat. Beasiswa? Selamat ya,” seruku senang.

Kamu tersenyum sekilas. Sekilas saja. Aku bertanya-tanya. Bukankah seharusnya kamu gembira? Bukannya kamu tidak terlihat bahagia, hanya saja sepertinya ada hal yang berat yang mengganjal di benakmu. Aku tersenyum seraya memandangmu, lagi-lagi mencoba menerka, menyelidiki apa yang ada di balik wajahmu.

“Kar, aku akan S2 di Australi,” ucapmu sangat pelan dan hati-hati. 

Namun telingaku sanggup menerima ucapanmu. Mencernanya di dalam otaku. Aku terdiam, menahan segala rasa yang tiba-tiba bergejolak di hatiku, menuntut untuk diteriakan. Bibirku menjadi kelu. Namun aku tetap mencoba tersenyum. Entah seperti apa senyum itu di matamu, mungkin terlihat palsu. Tapi asal kamu tahu, saat itu aku berusaha keras membentuk lengkungan manis di bibirku.

Di depan mataku terbersit bayangan perpisahan. Aku tak mampu lagi mengendalikan setiap kata yang terucap dari bibirku setelah itu. Jiwaku tiba-tiba hampa, ada yang pergi entah kemana.  

Dan di sinilah aku, di bukit kita, hampir setiap pagi. Melewati pagi demi pagi. Mencoret tanggal demi tanggal, menghitung hari, menantikan kedatanganmu.

Seandainya saat itu aku tak menahan rasaku yang bergejolak. Seandainya aku meneriakan apa saja yang ada di benakku.

Pagi, jangan pergi,
 Kutakut malam nanti ku masih sendiri
 Dan pagimu tak lagi indah
 (Pagi, by Dialog Dini Hari)

Minggu, 09 September 2012

Cinta di atas Bukit 1


Kalau bukan dia, mungkin sampai kapanpun aku tak akan pernah siap

Ega,
Bogor, 9 September 2012
Seperti biasanya bukit kami selalu indah. Ah, tentu saja bukan bukit sungguhan. Hanya segunduk tanah di belakang sekolah kami dulu. Rerumputan yang tumbuh tak beraturan, lalu di berbagai tempat bunga-bunga yang tumbuh mulai bermekaran. Tapi keindahan bukit ini bukan sekedar di rerumputan hijaunya. Bukan pula di bunga warna warni yang tengah bersemi.

Sekar. Sahabatku, yang diam-diam juga telah menempati sebuah ruang besar di dalam hatiku. Kekasihku.

“Angin di sini tu selalu pas ya. Ga teralu kencang, tapi juga cukup sejuk,” ucap Sekar.

Kata yang selalu dia ulang setiap kami melewatkan waktu berdua di bukit. Entah sejak kapan tepatnya, aku tak mencatat tanggalnya. Sejak aku menemukannya menangis seraya duduk di atas batu. Sekar yang populer dan terkenal sebagai perempuan yang ceria dan selalu tegar. Tempat kawan-kawannya mencurahkan perasaan, dan selalu diladeninya dengan sabar dan bijaksana. Sebelumnya aku jarang berinteraksi dengannya. Namun sejak aku melihatnya berair mata dan memberanikan diri duduk di sampingnya. Sejak saat itu, tanpa terucap, kami selalu kembali ke bukit kami. Berdua, sekedar menikmati semilir angin, dan mengawasi hampir setiap tangkai bunga yang tumbuh di sekitar satu-satunya pohon di bukit kami. Tempat favorit kami.

“Ga, Ga, tuhkan, kamu pasti ga denger ya aku ngomong dari tadi?”
“Eh, Maaf Kar, kenapa?”
“Kamu tu tumben amat bengong gitu, dari tadi ngeliatin aku ga jelas. Katanya ada yang mau diomongin?”
***
Sekar,
Bogor, 9 September 2012
Angin di bukit kami tak pernah berubah. Satu-satunya tempat dimana aku merasa nyaman, dan bahkan merasa bisa menjadi diriku sendiri. Bebas mengkhayal dan bermimpi. Apalagi sejak dia muncul di dalam hidupku. Berbagi berbagai hal tanpa merasa sungkan, tanpa merasa khawatir. Ega. Si kutubuku sekolah, yang setiap hari duduk di kursi paling depan. Dulu kami jarang bertegur sapa. Matanya selalu berada di balik buku. Bahkan waktu istirahatpun, seringkali dia lewatkan dengan membaca.

Lalu suatu hari secara ajaib dia hadir ke hidupku. Ketika aku sedang sedih menghadapi perceraian Mama Papaku. Aku hanya bisa mengadu melalui air mata yang kutumpahkan ketika ku sendirian. Saat itulah aku merasa ada seseorang duduk di sebelahku. Ega, dia hanya memandangku, dan tersenyum malu-malu. Lalu perlahan senyumnya tak lagi ragu-ragu. Tanpa bertanya, tanpa bicara, dia tetap di sisiku. Tidak memaksaku bercerita, dan membiarkanku menumpahkan air mata.

Sejak saat itu, kami pun selalu menikmati bukit kami. Meski kelulusan tak terelakan, dan kami melanjutkan studi kami di kampus masing-masing. Namun tanpa janji, setiap minggunya, bukit kami selalu menjadi tempat sempurna untuk kami berdua.

Selama dua tahun, kami terpaksa pergi sendiri-sendiri. Lantaran setelah lulus kuliah, Ega memutuskan untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ketika dia pulang, justru aku yang berhasil mendapatkan beasiswa yang kuincar sejak aku di tingkat akhir S1 ku. Begitu aku kembali, Ega langsung menelfonku meminta bertemu. Dia berkata ada hal yang ingin disampaikan. Entah kenapa, sejak telefonnya itu, jantungku berdegup tak karuan.

Di sinilah kami sekarang, di bukit kami. Namun sejak tadi, Ega lebih banyak diam. Sempat dia menatapku, kukira dia mendengarkanku bicara. Tapi jangankan mendengar kata-kataku. Sepertinya pikirannya berkelana entah dimana.

“Ga, kok bengong lagi si?”
“Maaf Kar. Ada yang ingin aku bicarakan, serius denganmu.”
Deg, jantungku berdegup semakin cepat. Tatapan Ega tajam menuju mataku, dan terasa hingga ke jantungku.
***
Ega,
Bogor, 30 Juli 2010
Kami baru saja lulus kuliah. Aku langsung mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi S2ku. Hari ini,  aku bertekad untuk menyampaikan perasaanku pada Sekar. Perasaan yang entah sejak kapan muncul di dalam hatiku. Mungkin karena terbiasa, mungkin juga sudah tumbuh sejak awal kami betemu.

 “Ga, ga terasa ya, akhirnya kita lulus kuliah.”
“Yup! Empat tahun selesai, kuliah beres, tinggal kerja, terus kawin deh.”
“Huahahaha, kawin?”
“Yaiyalah, emang kamu ga kepengen kawin?”
“Belom siap Ga.”
“kenapa?”
“Aku belum siap melepaskan semua mimpi-mimpi aku.”
“Loh, emangnya kalo kawin kamu harus melepaskan mimpi-mimpi kamu?
“Yah, kamu kayak ga tau aja di Indonesia ini, perempuan tu dibebankan pekerjaan rumah tangga. Jadi kalau udah nikah, ujung-unjungnya pasti sibuk ngurusin suami, ngurusin anak, dan lain sebagainya. Kalo sudah begitu, impian-impian aku yang banyak itu, kapan dikejarnya?”
“Hahaha, emang pasti gitu? Cari suaminya jangan yang patriarkis donk.”
“Nah itulah susahnya di Indonesia. mana ada cowok yang mau ngerti kalau kerjaan rumah tangga tu juga pekerjaan laki-laki. Bahwa masak, nyuci, dan lain sebagainya itu juga ga aneh kalau dikerjakan laki-laki. Coba, mana ada laki-laki yang ketika istrinya ingin menggapai mimpinya, sementara ada kebutuhan pengasuhan dan pendidikan anak, terus demi mendorong si istri menggapai mimpi dia mau berhenti kerja dan mengurus anaknya plus mengurus rumah tangga?“
“Jadi kamu pengen punya suami yang mau di rumah, sementara kamu sibuk mengejar impian kamu di luar rumah?”
“Ya ga gitu juga, kan bisa diomongin sama-sama. Impianku apa, impian suamiku apa, kapan kita bisa sama-sama lari, kapan kita harus gantian lari. Tapi kenyataannya selama ini kan ga ada laki-laki yang mendukung istrinya seperti itu. Ngasih izin aja, udah dianggap mendukung, padahal kan ga sesederhana itu. Sebaliknya, perempuan selalu dituntut untuk mau berkorban dalam situasi seperti itu.”

Aku terdiam menyimak ucapanmu. Tidak mengangguk, tidak pula membantah.

“Kecuali kalau”
“Kalau apa?”

Sekar hanya diam tak menjawab, lalu malah sibuk menceritakan pengalaman barunya sebagai wartawan.

Kalau saja aku tetap maju. Tetap menyampaikan perasaanku, mengajaknya menikah, dan membawanya menyertaiku menjalani studiku ke negeri kanguru. Tapi aku terlalu takut akan penolakan. Aku melewatkan kesempatan itu.
***
Sekar,
Bogor, 30 Juli 2012
Aku yang diam-diam memendam rasa sejak SMA, ingin menyampaikan perasaanku pada Ega. Hari ini, di bukit kami, kubulatkan tekadku. Kukuatkan hatiku, aku tak peduli, risiko apapun yang akan datang, aku tak bisa diam lagi. Namun ternyata, tekadku bisa kandas juga. Ega pamit untuk melanjutkan studinya ke Australia. Membuatku tiba-tiba merasa hampa.

Lalu entah bagaimana, kami bicara soal pernikahan. Secara spontan dan salah tingkah aku bilang aku belum siap, dengan segala alasan yang kubuat, yang sebenarnya bisa terbantahkan kalau saja.

 “Kecuali kalau”
“Kalau apa?”

Seandainya aku berani, mengucapkan kata-kata yang menyangkut di kerongkonganku, ‘kecuali kalau kamu yang menjadi suamiku.’
***
Ega
Bogor, 9 September 2012
Inilah saatnya. Aku yakin sekaranglah waktu yang tepat. Aku tahu risikonya. Tapi aku tak sanggup kehilangan kesempatan untuk meraih impianku. Dua tahun lalu aku melewakan kesempatanku. Tapi tidak kali ini.

Sekar
Bogor, 9 September 2012
Ega, seandainya dia tahu. Sejak dia jauh, aku terpaksa mendatangi bukit kami sendirian. Berbicara dengan angin, berharap angin bisa menerbangkan rinduku kepadanya yang di seberang lautan. Sejak saat itu aku mengerti rindu, sejak saat itu aku tahu rasanya cemburu.

Ega, apakah gerangan yang ingin dia sampaikan. Entah kenapa, harapan-harapan tentang dia, tentang rasaku padanya muncul tiba-tiba. Aku tak sanggup menahan degup jantungku yang begitu kencang. Aku takut dia mendengar.
***
Ega dan Sekar,
Bogor 9 September 2012
“Sekar, aku ingin kamu menjadi istriku.”
Sekar terdiam. Tak menjawab, hanya pipinya yang terlihat merona, dan matanya yang bersinar lembut.
“Aku mencintai kamu, Sekar. aku mencintai impianmu, termasuk mencintai segala risiko menjadi suami kamu.”
“Ga,”
“Aku serius Sekar. Ga ada yang lebih membuat aku bahagia, selain dengan membahagiakanmu. Dan ga ada yang paling aku inginkan, selain mengejar mimpi dan menjalani hidup bersamamu.
“Ga, sekarang giliran aku yang bicara. Aku mau.”
“Serius? Tapi kamu..." Suara Ega terhenti.
Sekar menatap Ega, dengan pandangan bertanya.
Kamu, siap nikah kan?”
Sekar tersenyum. matanya menatap Ega lembut, dengan penuh keyakinan, dia menjawab,
“Iya, Ga, kalau denganmu, aku siap. Aku tau kamu, aku tau cara kamu memandang relasi suami istri. Aku tau impianmu, dan aku yakin, impianmu, impianku, akan menjadi impian kita, dan kita bisa raih bersama.”
Ega pun memeluk Sekar. Mendekapnya lembut, merasakan setiap energi cinta yang mengalir di antara mereka.
“Aku akan membahagiakanmu Kar,” janji Ega.
“Kalau bukan kamu Ga, mungkin sampai kapanpun aku tak akan pernah siap,” bisik Sekar.
***
Terinspirasi dari lagu Perahu Kertas, Maudy Ayunda
Betapa ajaib hidup ini
Mencari-cari tambatan hati
Kau sahabatku sendiri
Hidupkan lagi mimpi-mimpi
Cita-cita
Berdua ku bisa percaya

Kamis, 09 Agustus 2012

Dua Kata

Hanya ada dua kata darimu malam ini. dua kata yang aku sendiri tak mengerti. dua kata yang memang tidak ditujukan kepadaku.

Tapi aku, demi menangkap dua kata itu menggerakan jemariku begitu perlahan. menyimak deret demi deret huruf dalam dunia seluas 140 karakter, menyelami ratusan atau mungkin ribuan kata lainnya. Baru akhirnya sampai ke dua kata itu.

Dua kata yang tak kumengerti artinya, dua kata yang bukan untukku. Tapi tetap saja menggetarkan semua bagian hatiku, memercik di setiap relung jiwaku, mengaliri setiap jengkal tubuhku.

Lalu keluar, berupa air bening, yang menyeruak dari kedua sudut mataku

Ah, aku rindu kamu

Kamis, 19 Juli 2012

Janji

Lalu janji itu,
menjanjikan kita akan kembali bertemu
tenanglah
Pasti kan kutagih janji itu ^^

Tak Terlihat

Untunglah, kamu hanya bisa mendengar suaraku
Tanpa bisa melihatku
dan pipiku yang perlahan bersemu

Jumat, 22 Juni 2012

Puisi Cinta


Hari telah senja ketika aku terjebak di tengah-tengah puisi cinta
Sementara senandung azan mengiringiku menjelajah kata demi kata yang memesona
Ah,, betapa Tuhan mencipta keindahan melalui manusia
Melalui rasamu, pikirmu, dan jemarimu yang mengetikkan keanggunan dalam kata
Kata, hanyalah kata biasa. Yang menemuiku, kamu, dan siapa saja
Namun ketika kata dan kata berkumpul atas kehendakmu
Mereka menjadi puisi, mereka menjadi cinta

Untuk seorang penyair, yang keindahannya kutemui ketika senja

Senin, 11 Juni 2012

Move On

Untuk kenangan yang tak akan terulang
Untuk kesempatan yang telah terlewatkan.

Biarkan aku bergerak maju
dan meninggalkanmu tetap di belakang

Kamis, 07 Juni 2012

Melihat Kearahmu

Untuk yang begitu menginspirasi
Ternyata kehangatan yang kamu berikan tidak hanya terjalin selama setahun ini. Setidaknya begitulah yang kupahami ketika aku membuka beberapa postingan ketika ulang tahun selama tiga tahun terakhir. dan ucapanmu sudah bertengger di situ. Tak sekedar ucapan Selamat basa basi, atau doa wish you all the best yang begitu umum.

Atau ketika kamu mengirimkan sebuah lagu penuh semangat tentang tanggung jawab akan pendidikan. Memang tak hanya untuku. Tapi setidaknya saat itu aku sudah kamu masukan ke dalam list orang-orang yang kelak akan kamu ajak berjuang.

Ah,, betapa aku tidak mengingatmu ketika itu, tidak pernah mempertimbangkanmu, tidak pernah melihat ke arahmu.

Lalu kini, ketika kamu tak lagi menoleh ke arahku, justru ketika aku mulai melihat kamu. hanya kamu. satu-satunya.

Untuk kamu yang telah melangkah jauh dariku
membuat keputusan yang membuatku takkan mampu mengejarmu

Inspirasimu tak pernah lekang
Kehangatanmu, meski hanya kenangan, namun membekas lembut dan menenangkan

Maka di langkah-langkahku ke depan
izinkan aku untuk tetap mengingatmu
untuk tetap mengagumimu
untuk tetap melihat kepadamu. Satu-satunya, hanya kamu

Selasa, 15 Mei 2012

Aku Rindu

Selamat pagi
Rasanya menyenangkan jika bisa menyapamu setiap hari.
Meski tak ada kepentingan penting yang hendak disampaikan,
namun sekedar melihat akun YM mu berkelap-kelip menjawab pesan dariku,
sudah cukup membuatku tersipu.

Entah sudah beberapa waktu ini
Entah kamu atau aku yang memulai
Entah YM, Whatsapp, atau sarana chatting lainnya

Alwalnya tak terasa
Namun tiba-tiba rasanya ada yang janggal,
jika tak kutemukan sapamu sehari saja.

Rasanya ada yang kurang,
tanpa bermain emoticon
seraya tertawa diam-diam
atau mengekspresikan emoticon lainnya di dunia nyata

Rasanya ada yang rindu
kala jari ini terbiasa mengetik sederet huruf
Penggalan namamu dengan huruf terakhirnya yang selalu kubuat panjang

Selamat Pagi
hari ini username-mu yang berlum pernah kutanya artinya
tidak muncul di friend list YM ku

Selamat Pagi
Aku rindu..

Tentang Cinta


Barangkali memang hanya rasa penasaranku saja. Ketika kamu yang biasa berbusa-busa menggunakan istilah-istilah rumit dalam tulisanmu. Membuatku menggelengkan kepala, bahkan kadang (honestly) malas membaca tulisanmu lebih lanjut karena merasa tulisan itu terlalu ‘berat.’ Lalu tiba-tiba aku menemukanmu bertutur tentang cinta. Sederhana, namun sangat bermakna.

Usiamu sangat belia, bahkan jika dibandingkan dengan usiaku. Namun rasanya salah pabila aku menganggapmu adik. Sejak awal, pemikiranmu tak membuatmu duduk lebih rendah ketika berhadapan denganku. Kegelisahan-kegelisahan yang kau ungkapkan, justru menunjukan kematangan berpikir tentang hidup, tentang ideologi, bahkan tentang cinta.

Maka biarlah aku menjelajahi pemikiranmu. Menemukan jembatan untuku bisa lebih memahami kegelisahanmu. Hari ini, aku berhenti pada sebuah postingan tanpa komentarmu. Sebuah kesederhanaan cinta nan manis, indah, lugu.

Izinkan aku mengencanimu di alam mimpi. Mengupas habis isi kepala dan hatimu. Kali ini, tidak tentang perjuangan, tidak tentang ideologi, tidak tentang kemiskinan, tapi tentang cinta.

Minggu, 25 Maret 2012

Mimpiku Semalam

Aku tak tahu sejak kapan, tapi kapanpun perasaan itu muncul, beberapa hari ini dia menguat berlipat-lipat.

Entah apa kamu sadar, tapi kali ini aku benar-benar tergerak. Mencari cara, mencari jalan, seidaknya untuk sekedar menyapamu. Aku belum berani berharap lebih dari itu.

Malam ini, kamu muncul di mimpiku. teramat jelas, tak seperti mimpi-mimpiku biasanya. namun Tuhan tak memberi tanda melalui mimpi itu. Hingga aku masih bertanya-tanya.

Kalaulah kamu bersedia, berikanlah aku sinyal sedikit lagi, agar langkah itu tak meragu. Entah maju, atau mundur, asal tak meragu.

Atau aku harus mengiba kepada Tuhan, agar sekedar memberikanku mimpi sekali lagi. sama jelasnya dengan semalam, namun jangan membuatku bimbang.

Selasa, 07 Februari 2012

Ungkapan Singkat untuk Sahabat


Hai Va,

Hari ini nisaa pakai baju hitam-hitam, namun mengenakan jilbab ungu pink dengan corak yang cukup ramai. Rada ga konsisten ya? Abis nisaa bingung, mau sedih atau senang. Hehe.

Nisaa ga tau kapan Eva bbm Nisaa. Soalnya semaleman ini HP Nisaa mati. Low bat, dan sengaja ga di charge. Karena badan nisaa yang lagi bener-bener butuh di-charge, jadi biar istirahat full, dan ga kebangun gara-gara ada bunyi dari HP. Begitu bangun, HP juga ga langsung nisaa nyalain, di charge, dulu baru pas lagi siap-siap berangkat ke kantor nisaa nyalain. Dan saat itulah nisaa baca bbm dari Eva dan juga Sule yang ngabarin hal sama.

Huhu, akhirnya berita itu datang juga. Di satu sisi Nisaa sedih mau ditinggal Eva, tapi di satu sisi nisaa juga ikut seneng Eva dapet kerjaan yang Eva mau. Di satu sisi banyak kekhawatiran yang muncul dalam benak Nisaa, di sisi lain, Nisaa sebenarnya tahu, Nisaa ga  perlu khawatir, toh persahabatan kita sudah teruji kan?

Well, tanpa nisaa mengatakan atau berpesan apapun, Nisaa tahu kalau Eva juga udah tahu apa yang Nisaa mau bilang, bahkan yang Nisaa rasakan. Lagipula, seperti yang Eva bilang, kata-kata hanya malah akan membatasi segala rasa, ucapan, dan pesan yang sebenarnya sudah terungkapkan. Jadi, yah, Nisaa ga perlu ngomong apa-apa lagi kan ya? :)

Nisaa sayang Eva
*lap air mata

Jakarta, 8 Februari 2012
Untuk kawan impulsifku, yang selalu menemaniku meracau dalam segala kegalauan hingga kebahagiaan

Minggu, 05 Februari 2012

Untuk Seorang Sahabat




Kalaulah kita pernah jatuh saling jatuh cinta, mungkin itu sudah lama sekali. Karena di usia persahabatan kita yang mencapai lebih dari 10 tahun, perasaankupun sudah sekian kali berganti, begitupun harapanku tentangmu dan tentang hubungan kita.

Hari ini, jarak kita merekah terlalu jauh. Meski latar belakang keilmuan kita sama, namun kamu dan aku memiliki pilihan yang berbeda. Ah, tak sekedar soal pilihan karier atau rencana hidup lainnya, tapi juga pilihan cara menghadapi hidup. Jujur, aku sering berbesar kepala, menganggapku sudah jauh berlari mendahuluimu. Meninggalkanmu yang memang memilih tuk ketinggalan. Tak mungkin lagi kamu susul dengan langkahmu, sekencang apapun kamu berusaha berlari.

Kamu pernah bilang, aku terlalu serius menjalani hidup, terlalu keras dengan diriku, terlalu membatasi pilihan-pilihanku, karena nilai-nilai yang kuyakini dan berusaha kujalani dengan konsisten. Karena aku terlalu banyak menimbang dan bepikir, tak hanya memikirkan diriku, tapi juga keluargaku, dan bahkan lingkunganku. Sedangkan aku, sering kau buat geregetan, karena langkah-langkahmu yang lambat dan ragu-ragu. Karena ketakutan-ketakutanmu menjalani apa yang kamu sebut dengan ‘hidup yang sesungguhnya.’ Karena ketidaksiapanmu untuk mengemban tanggung jawab sebagai seorang pria dewasa, baik untuk lingkunganmu, keluargamu, dan yang terpenting untuk dirimu sendiri.

Aku bilang, aku tidak keras, aku hanya berusaha untuk disiplin, berusaha menyinergiskan antara apa yang kupercaya, dengan sikap, kata, dan keseharianku lainnya. Sejak dia begitu besar dan absurd sebagai nilai, hingga terejewantahkan dalam hal-hal kecil, melalui kata-kata dan prilaku. Kamu bilang kamu hanya ingin menikmati hidupmu. Melakukan apa yang kamu suka sebelum memasuki tahap yang kamu bilang tahap hidup yang sesungguhnya. Sebuah tahap yang sudah kumasuki satu setengah tahun sebelumnya.

Hey, kamu pikir aku tidak menikmati hidupku? Ah, aku ingat kita bahkan pernah berdebat tentang arti menikmati hidup. Toh kamu sudah mengalah kala itu. Kamu mengakui bahwa di tengah pilihan-pilihanku yang menurutmu serius, aku mampu menikmati hidupku. Meski lagi-lagi kamu teus mengingatkanku untuk tidak terlalu serius dan keras pada diriku.

Meski berbagai jarak yang terbentang, aku dan kamu masih berusaha menggapai satu sama lain. Sekedar obrolan singkat di bbm, telfon tengah malam, atau sesekali kamu menjemputku lalu kita nonton di bioskop. Akhirnya aku mengerti arti kalimat ‘jarak tak sanggup memisahkan.’ Toh nyatanya kita masih kuat, meski mungkin intensitas komunikasi kita berkurang hingga 80% dibandingkan dulu. Meski aku punya banyak sahabat lain, begitupun kamu, yang beitu berbeda latar  belakang dan pilihan hidup.

Kamu tahu kenapa? Kamu pasti ingat ketika terakhir aku marah-marah padamu. Kamu tidak meladeni amarahku. Kamu hanya diam, membiarkanku sendirian sejenak, namun tak pernah benar-benar meninggalkanku. Kamu memberiku waktu, hingga akhirnya amarahku yang tak masuk akal mereda, baru kemudian kembali menghubungiku. Mengajaku bicara dan bertanya ada apa.

Kamu tahu? Tak hanya soal menghadapiku ketika marah. Namun di segala suasana hatiku, kamu selalu tau sikap yang tepat untuk menghadapiku. Selalu tau apa yang kumau tanpa kubicara secara gamblang. Selalu mampu menebak suasana  hatiku, meski aku tak bercerita satu katapun padamu.

Aku tak peduli seberapa jauh jaraku berlari di depanmu. Namun setiap aku ingin kembali, aku tahu ke mana aku mencarimu. Dan aku tahu bahwa kamu selalu ada  untukku.

Terima Kasih


6 Februari 2012
Sahabatmu yang selalu kembali mencarimu

Rabu, 01 Februari 2012

Untuk Calon Suamiku


Untuk Calon Suamiku
Sebelum kelak kita membangun sebuah keluarga bahagia, perkenankanlah aku menyampai sesuatu. Izinkan aku mengungkapkan beberapa keinginanku yang ingin kubagi denganmu.

Aku ingin anak-anak kita nanti mendapatkan kasih sayang, perhatian, dan cinta yang melimpah dari kita. aku ingin mereka tumbuh sebagai sosok yang percaya diri, mengenal dirinya sendiri, tangguh, dan bisa mengandalkan dirinya sendiri.
Aku ingin kita mengajarkan kepada mereka untuk tidak tergantung kepada orang lain, untuk melakukan hal-hal yang bisa dilakukan sendiri tanpa bantuan orang lain.
Karena itu, aku ingin kita memberikan contoh-contoh kecil kepada mereka. Dengan tidak menyuruh mereka mengambilkan piring, gelas, makanan, atau minuman, atau apapun yang bisa kita lakukan sendiri. Karena menyuruh mereka hanya akan membuat mereka merasa bisa memerintah siapapun yang menurut mereka lebih ‘rendah’ (entah berdasarkan umur, kedudukan, dan yang lainnya) daripada mereka.

Aku tidak ingin mendengar mereka berteriak-teriak memanggil ‘mbak’ (PRT-red) mereka, untuk diambilkan minum, dipakaikan sepatu, menyuapi makan, dan hal-hal lain yang sebenarnya bisa mereka lakukan sendiri, meski dengan kata tolong sekalipun.

Bukan berarti aku tidak ingin mereka menunjukan kasih sayang kepada kita. Karena aku jamin, mereka akan berlajar dari aku yang memasak dengan cinta untukmu. Membuatkan kopi kesukaanmu, dan kamu pun bisa melakukan hal yang sama untukku. Berdasarkan cinta, bukan berdasarkan kamu mengharuskanku atau sebaliknya.

Aku ingin mereka tumbuh sebagai generasi cerdas dengan kesadaran kritis yang membuat mereka mampu memilih dan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan yang mereka buat, dan konsisten dengan pilihan tersebut.

Aku ingin kita menjawab seluruh pertanyaan mereka, sederhana atapun rumit, meski kita dalam keadaan selelah apapun.

Aku ingin mereka mendapatkan semua penjelasan terkait apa-apa yang mereka tidak boleh lakukan, dan apa-apa yang mereka harus lakukan. Tentang akibat-akibat tertentu dari perbuatan tetentu, membiarkan mereka berpikir, dan memutuskan apa yang baik dan buruk bagi mereka.

Aku ingin memberikan kepercayaan kepada mereka selayaknya orang-orang dewasa. Membuat 'gentleman agreement' dengan mereka, tentang konsekuensi apa yang harus mereka terima dari tindakan-tindakan yang mereka lakukan.

Aku ingin kita memiliki waktu untuk duduk bersama, sekedar sharing pengalama sehari-hari, serta mengambil keputusan-keputusan penting untuk rumah dan keluarga kita. mendengar si adik ingin bersekolah di mana, mendengar si kakak akan mengambil jurusan apa, dan sebagainya.

Aku ingin mengajarkan mereka tentang makna konsistensi, dengan konsisten dalam mendidik mereka. Ketika kita sudah mengatakan tidak terhadap keinginan-keinginan mereka yang memang kita merasa tidak perlu memenuhinya. Memenuhi gentleman agreement yang kita buat dengan mereka, baik terkait kewajiban kita, maupun kewajiban mereka.

Memberikan janji atas reward dan mekanisme punishment yang memang realistis untuk kita terapkan kepada mereka.

Memenuhi semua janji kita kepada mereka, baik yang kita ucapkan, maupun tidak ucapkan kepada mereka.

Kalaupun ada janji yang tidak bisa kita penuhi karena hal-hal di luar kuasa kita, kita harus memberikan kompensasi sesuai kesepakatan ulang yang melibatkan mereka.

Tidak sekalipun mengancam mereka untuk, menurunkan mereka di tengah jalan, meninggalkan mereka di pusat pertokoan, mereka harus tidur di luar rumah, atau hal-hal tidak masuk akal lainnya.

Tetap berkata tidak, ketika anak kita merajuk minta dibelikan mainan, meski kita mulai merasa kasihan, dan memiliki dana untuk menurutinya.

Aku ingin mereka tumbuh sebagai pemberani, mau mengakui kesalahan, dan sanggup untuk belajar dari kesalahan itu.

Aku ingin kita tak segan-segan meminta maaf kepada mereka ketika kita melakukan kesalahan.

Karenanya kitapun tidak boleh segan mengakui kesalahan, atapupun meminta maaf ketika kita berbuat salah kepada mereka ataupun kepada orang lain.

Aku ingin kita duduk bersama, mendiskusikan masalah di antara kita. Berargumentasi, berdiskusi, semua orang berhak bicara.

Aku ingin kita saling menyemangati, mensupport mereka untuk mengambil keputusan berani, dan tetap mendukung mereka apapun yang terjadi dari keputusan tersebut.

Aku ingin mereka bebas mengeksplorasi potensi yang ada di dalam dirinya.

Aku tidak ingin mereka tumbuh di tengah larangan-larangan yang tidak relevan.
Biarkan saja mereka berkotor-kotor ria bermain di luar, atau mencintai hujan seperti mama-nya.

Biarkan saja anak perempuan kita hobi memanjat, atau anak laki-laki kita senang membantu di dapur.

Aku ingin mereka yang memutuskan, ingin les gitar, atau les melukis, ingin taekwondo atau karate, atau memilih untuk ikut les Bahasa Indonesia sekalipun.

Aku ingin mereka menghargai setiap usaha yang dilakukan, baik oleh mereka ataupun oleh orang lain.

Aku ingin mengajarkan mereka untuk ringan mengucapkan terima kasih, untuk tak segan-segan memuji dan memberikan penghargaan kepada orang lain. Karena tentu saja kita tidak pernah segan untuk mengucapkan terima kasih dan member penghargaan setiap usaha mereka.

Aku ingin mereka tahu bahwa setiap butir beras dihasilkan dari usaha dan kerja keras. Dan kita kan mengajarkan mereka untuk tidak menyisakan sebutir nasipun di piring.

Aku ingin mengajarkan mereka bahwa berbeda itu indah, dan keberagaman adalah kekayaan.

Aku ingin mereka bisa bergaul dan berteman dengan siapa saja tanpa tersekat-sekat stereotyping yang tidak penting. Hitam, putih, sipit, belo, lurus, keriting, semua hanyalah cirri-ciri fisiki setiap orang. Sama sekali bukan tentang siapa yang lebih baik, lebih pintar, atau lebih pantas dijadikan teman.

Aku ingin mereka terbiasa dengan perbedaan pendapat. Bahwa masing-masing punya pilihannya sendiri, memilih baju yang akan dikenakan, atau warna cat tembok kamar. Menghargai berbagai pilihan yang diambil, dan jangan lupa konsisten dengan pilihan-pilihan itu.

Dear calon suamiku,
Masih banyak aku ingin-aku ingin lainnya, dan tentu saja aku masih menyisakan ruang untuk mu mengungkapkan ‘aku ingin-aku ingin’ versimu. Agar kita bisa berdiskusi bersama tentang apa yang baik yang kita rasa, saling bertanggung jawab untuk menjalankan tugas, untuk membangun keluarga yang kita pilih sendiri, dengan kebahagiaan yang kita ciptakan sendiri.

Darimu Aku Belajar



Untuk seseorang yang pernah datang dalam hidupku, dan mengajarkanku merasakan sesuatu yang indah.

Mengenalmu merupakan suatu bagian indah dalam hidupku. Menggoreskan sebuah kisah baru dalam lembaran manis hati ini. Merasakan hati ini terasa tak menentu. Gelisah, gundah, dan gulana menyerang, setiap kali sosokmu lewat di depanku.

Menggoreskan rona merah padam di pipiku. Saat tuturmu berbicara, saat telinga ini bergetar mendengarnya. Saat senyumanmu merekah, berikan kesejukan yang tak kunjung reda. Saat matamu menatap dengan lembut, mata ini tertunduk malu tuk sembunyikan perasaanku. Saat kubaca rangkaian katamu yang tergores di kertas, diri ini tak kuasa menahan kekaguman padamu.

Dari kata-katamu aku belajar tentang keindahan. Dari senyummu aku belajar ketulusan. Dari tatapan matamu aku belajar kejujuran. Dari caramu berpikir, mengajarkanku tentang banyak hal. Hidup, kasih terhadap sesama, kepedulian, toleransi, Idealisme, dan kesadaran sebagai makhluk Tuhan.

Dan dari sosokmu aku belajar merasakan getaran yang tak biasa. Menikmati kehangatan yang tak mau reda. Sebuah perasaan yang teramat indah

Darimu aku belajar
Jatuh cinta 

Jakarta, 1 Februari 2011

Senin, 30 Januari 2012

Mencari Senyummu


Hai Ari,
Aku masih ingat secara persis senyummu, yang terbingkai indah oleh lesung pipit di kedua pipimu. Saat itu umur kita tak lebih dari jumlah jemari di satu tangan. Kita berkenalan saat pertama kali mengenakan seragam sekolah. Taman kanak-kanak. Entah karena rumah kita yang berdekatan, atau karena mamamu yang begitu ramah, sehingga main ke rumahmu seakan menjadi jadwal tetapku setiap hari.

Dulu, sebuah rumah beserta penghuninya menjadi saksi. Rumahku dan rumahmu sebenarnya tidak terlalu dekat. Kita berbeda kompleks. Aku harus memutar  dan berjalan sekitar 200 meter apabila melewati jalan yang biasa. Beruntung, seorang tetangga memiliki rumah yang menghubungkan antara kompleksku dan kompleksmu. Yah, anggap saja, Tuhan memang menakdirkan kita untuk menjadi dekat. Dan rumah beserta penghuninya itupun menjadi saksi betapa sering aku melewatinya, hanya lewat, untuk bisa sampai ke rumahmu.

Lalu tiba-tiba rutinitasku harus berhenti. Kamu dan keluargamu pergi jauh, pindah ke Lampung. Saat itu aku tak bisa memahami perasaan apa yang bergejolak. Aku tak mempu mengartikan rasa kosong saat mengantarkan kepergianmu, melambaikan tangan padamu, dan melihat senyummu untuk terakhir kali. Tapi yang aku tahu, hingga detik ini, aku masih ingat secara detil dan persis tentang kamu. Seseorang yang tak pernah terganti oleh waktu.

Ah, kamu dimana sekarang? Bagaimana kabarmu? Apakah kamu masih ingat? Aku yang dulu hanya berdaster menemuimu, berceloteh panjang lebar, membawel, dan kamu hanya mendengarkan seraya tersenyum? Senyum kamu itu, senyum yang sampai saat ini tidak bisa lekang dari ingatku. Senyum yang selalu hadir, dan kucari-cari setiap aku berkenalan dengan pria bernama Ari. Sambil menahan harapan yang membuncah, bahwa yang kutemui, adalah kamu.

Ri, apakah kamu masih ingat, meski hanya sebatas namaku. Ingat bahwa pernah ada seorang anak perempuan berambut ikal, berpipi tembam bernama Nisaa, yang menemanimu setiap hari? Menemuimu, berceloteh, dan menikmati senyummu?

Please try to find me and I'll try to find you
You know I need you just like you need me
Please don't give up cause we're almost together
We've almost made it, hold on and you'll see

-Gorky Park: Try To Find Me-

Jakarta, 31 Januari 2012

Sabtu, 28 Januari 2012

Sudah Setahun

Pagi sayang..
Hari ini aku bangun terlalu pagi. Mungkin karena terkejut akan mimpiku semalam. Ketika tiba-tiba kamu datang, menyapa sejenak, dan melangkah pergi menjauh dariku. Kehadiranmu benar-benar hanya sekejap. Tapi kamu tahu? Efeknya membuat jantungku berdebar, bahkan hingga aku terbangun dari tidurku.

Ah, sayangnya, ketika aku pulih dari keterkejutanku, barulah aku sadar betapa ingin aku bermimpi tentangmu. Mati-matian aku berusaha tidur lagi. Agar kamu kembali kehadapanku. Dengan tekad, begitu kamu melangkah pergi, aku akan berlari-lari mengejarmu mati-matian..

Sayang, bagaimana tidurmu yang teramat panjang? Kamu tampak nyenyak meski hanya beralas tanah yang semalaman basah karena hujan turun. Masihkah tubuhmu utuh di sana? Sudahkah tubuh itu mulai habis menyuburkan tanah di sekitarnya? Ah, aku memang payah, aku tak tahu berapa lama tubuh manusia bertahan ketika ditanam di dalam tanah.

Aku bahkan tak tahu kalau hari ini sudah genap setahun kepergianmu. Aku hanya tau kamu masih selalu dekat denganku. Rasanya baru seminggu yang lalu kamu datang dengan kemeja biru favoritku. Saat matamu yang bercahaya belum berubah menjadi sendu. Masih terbuka lebar menatap dalam ke mataku. Rasanya baru kemarin saat senyuman indahmu mengembang, dan bibirmu mengecup keningku. Dan yang jelas, baru saja semalam kamu hadir lagi dihadapanku.

Sayang, tolong datang sekali lagi saja, setidaknya untukku sekejap memelukmu. Aku kangen kamu..

29 Januari 2012
Belahan hatimu yang tertinggal

Jumat, 27 Januari 2012

Sepenggal Kenangan Manis


Hai, seandainya kamu tahu, bahwa dulu aku pernah benar-benar jatuh cinta padamu. Memang saat itu bukan pertama kalinya aku jatuh cinta. Tapi tetap saja hatiku meledak-ledak. Rasanya seperti ada ombak yang berdebur kencang di sana.

Saat itu, setiap kali aku melihat kamu, setiap kali kamu bicara padaku, setiap kali kamu tersenyum, rasanya ada yang berdesir hangat di dalam dada. Dan setiap kali mata kamu menatapku, rasanya mata itu menembus ke dalam diriku, dan menguasai seluruh hatiku. Kalau sudah begitu, rasanya aku begitu ingin ditelan bumi. Karena aku bingung bagaimana caranya menyembunyikan wajahku yang sedang merah padam.

Duh, lalu kamu senyum lagi. Rasanya wajahku panas sekali. Belum lagi kupingku ikut panas. Lantaran kawan-kawan di sekitar kita sepertinya lebih dulu membaca rasaku padamu. Lalu turut meramaikan dengan senyum penuh arti, dan aneka sorakan.

Aku sering bertanya-tanya, bagaimana dengan kamu? Apa yang kamu rasakan atau pikirkan tentangku. Saat aku mencoba memberanikan diri untuk melihatmu, ternyata kamu masih bertahan dengan senyummu yang memikat itu. Bahkan senyuman kamu itu semakin lebar. Ah, jangan-jangan kamu hanya ngerjain aku.

Kamu ingat hari terakhir kita sekelas? Hari itu aku mengenakan baju pink. Saat itu kita sedang diskusi kelompok, jarak kita terpisah seluas lebar ruangan. Aku menangkap tatapanmu beberapa kali menemuiku. Tentu saja saat itu aku juga sedang curi-curi pandang kepadamu. Seorang kawan di sebelahmu memanggilku, mengomentariku yang mengenakan baju berwarna cerah. Tiba-tiba keluar suara dari mulutmu, hanya dua kata: “Lebih manis.” Dan kamu berhasil membuat satu ruangan rusuh menyoraki kita.

Lalu seminggu masa kebersamaan kitapun habis, seiring dengan berakhirnya saat-saatku bisa memandangmu dan merasakanmu dari dekat. Kita menjadi jarang bertemu, meski aku masih sering ke fakultasmu untuk makan di kantinnya. Tak sekedar makan memang, karena berharap bisa bertemu denganmu lagi.

Satu saat akhirnya kita bertemu. Lalu tiba-tiba kamu bilang kamu kangen padaku. Aku hanya terdiam, bertahan dengan gengsi, dan tak menanggapi. Tapi diam-diam hatiku bersemi, meski pikirku melarangku untuk berharap terlalu besar.

Hampir tujuh tahun sejak pertama kali kita bertemu, dan kamu menggoreskan warna dalam hidupku. Aku sudah berjalan dengan hidupku, kamu pun begitu. Kita tetap berteman, ya, kita berakhir hanya sebagai teman. Saat akhirnya aku memutuskan menjalin hubungan dengan seorang pria, kamupun akhirnya menjalin hubungan dengan perempuan yang saat ini telah kaunikahi.

Hanya saja, rasanya tetap menyenangkan mengenang keluguan, kelucuan, dan ketulusan yang dulu pernah ada. Jatuh cinta memang selalu indah, meski kita sudah berkali-kali merasakannya. Terima kasih untuk menggoreskan warna-warna indah dalam hidupku.

28 Januari 2012
Aku yang tiba-tiba menemukan puisi yang kubuat untukmu dulu

Rabu, 25 Januari 2012

Tiba Tiba


Hai!
Belakangan ini, kamu menjadi berarti lebih dari biasanya. Kamu hadir di benaku dua kali lebih sering dari biasanya. Membuat jempolku berhenti setiap akun twitter mu muncul di timelineku. Menarik syaraf-syaraf mata dan pikirku untuk menyimak dengan seksama kalimat-kalimatmu. Bahkan kadang menganalisis.

Kita saling kenal sebenarnya sudah lama. Lebih dari empat tahun kurasa. Meski saat itu hanya sebatas nama. Aku tahu kamu, begitupun sebaliknya. Tak lebih, tanpa sapa, apalagi perbincangan. Lalu kita mengenal lebih dari nama tiga tahun berikutnya. Masih biasa saja. Ok, aku akui, aku memang mengagumimu, sebatas itu, tak lebih.

Lalu mengapa malam-malam belakangan namamu menjadi begitu sering hadir ketika aku sedang sendirian. Mengapa satu dua kalimatmu yang kubaca tiba-tiba menjadi begitu berpengaruh pada suasana hatiku. Kadang aku senang, namun lebih sering senewen. Ah, jangan-jangan senewen itu karena cemburu. Yang jelas, setiap melihatmu di linimasa, aku merasa berbahaya.

Hai.
Aku tak pernah menyangka rasa apa yang datang tiba-tiba. Seperti aku juga tak mampu menerka apa yang ada di dalam benak dan pikiranmu tentangku. Aku tak ingin menebak gelisah ini akan berujung kemana. Aku hanya ingin menikmatinya. Itu saja.



26 Januari 2012