Halaman

Selasa, 07 Februari 2012

Ungkapan Singkat untuk Sahabat


Hai Va,

Hari ini nisaa pakai baju hitam-hitam, namun mengenakan jilbab ungu pink dengan corak yang cukup ramai. Rada ga konsisten ya? Abis nisaa bingung, mau sedih atau senang. Hehe.

Nisaa ga tau kapan Eva bbm Nisaa. Soalnya semaleman ini HP Nisaa mati. Low bat, dan sengaja ga di charge. Karena badan nisaa yang lagi bener-bener butuh di-charge, jadi biar istirahat full, dan ga kebangun gara-gara ada bunyi dari HP. Begitu bangun, HP juga ga langsung nisaa nyalain, di charge, dulu baru pas lagi siap-siap berangkat ke kantor nisaa nyalain. Dan saat itulah nisaa baca bbm dari Eva dan juga Sule yang ngabarin hal sama.

Huhu, akhirnya berita itu datang juga. Di satu sisi Nisaa sedih mau ditinggal Eva, tapi di satu sisi nisaa juga ikut seneng Eva dapet kerjaan yang Eva mau. Di satu sisi banyak kekhawatiran yang muncul dalam benak Nisaa, di sisi lain, Nisaa sebenarnya tahu, Nisaa ga  perlu khawatir, toh persahabatan kita sudah teruji kan?

Well, tanpa nisaa mengatakan atau berpesan apapun, Nisaa tahu kalau Eva juga udah tahu apa yang Nisaa mau bilang, bahkan yang Nisaa rasakan. Lagipula, seperti yang Eva bilang, kata-kata hanya malah akan membatasi segala rasa, ucapan, dan pesan yang sebenarnya sudah terungkapkan. Jadi, yah, Nisaa ga perlu ngomong apa-apa lagi kan ya? :)

Nisaa sayang Eva
*lap air mata

Jakarta, 8 Februari 2012
Untuk kawan impulsifku, yang selalu menemaniku meracau dalam segala kegalauan hingga kebahagiaan

Minggu, 05 Februari 2012

Untuk Seorang Sahabat




Kalaulah kita pernah jatuh saling jatuh cinta, mungkin itu sudah lama sekali. Karena di usia persahabatan kita yang mencapai lebih dari 10 tahun, perasaankupun sudah sekian kali berganti, begitupun harapanku tentangmu dan tentang hubungan kita.

Hari ini, jarak kita merekah terlalu jauh. Meski latar belakang keilmuan kita sama, namun kamu dan aku memiliki pilihan yang berbeda. Ah, tak sekedar soal pilihan karier atau rencana hidup lainnya, tapi juga pilihan cara menghadapi hidup. Jujur, aku sering berbesar kepala, menganggapku sudah jauh berlari mendahuluimu. Meninggalkanmu yang memang memilih tuk ketinggalan. Tak mungkin lagi kamu susul dengan langkahmu, sekencang apapun kamu berusaha berlari.

Kamu pernah bilang, aku terlalu serius menjalani hidup, terlalu keras dengan diriku, terlalu membatasi pilihan-pilihanku, karena nilai-nilai yang kuyakini dan berusaha kujalani dengan konsisten. Karena aku terlalu banyak menimbang dan bepikir, tak hanya memikirkan diriku, tapi juga keluargaku, dan bahkan lingkunganku. Sedangkan aku, sering kau buat geregetan, karena langkah-langkahmu yang lambat dan ragu-ragu. Karena ketakutan-ketakutanmu menjalani apa yang kamu sebut dengan ‘hidup yang sesungguhnya.’ Karena ketidaksiapanmu untuk mengemban tanggung jawab sebagai seorang pria dewasa, baik untuk lingkunganmu, keluargamu, dan yang terpenting untuk dirimu sendiri.

Aku bilang, aku tidak keras, aku hanya berusaha untuk disiplin, berusaha menyinergiskan antara apa yang kupercaya, dengan sikap, kata, dan keseharianku lainnya. Sejak dia begitu besar dan absurd sebagai nilai, hingga terejewantahkan dalam hal-hal kecil, melalui kata-kata dan prilaku. Kamu bilang kamu hanya ingin menikmati hidupmu. Melakukan apa yang kamu suka sebelum memasuki tahap yang kamu bilang tahap hidup yang sesungguhnya. Sebuah tahap yang sudah kumasuki satu setengah tahun sebelumnya.

Hey, kamu pikir aku tidak menikmati hidupku? Ah, aku ingat kita bahkan pernah berdebat tentang arti menikmati hidup. Toh kamu sudah mengalah kala itu. Kamu mengakui bahwa di tengah pilihan-pilihanku yang menurutmu serius, aku mampu menikmati hidupku. Meski lagi-lagi kamu teus mengingatkanku untuk tidak terlalu serius dan keras pada diriku.

Meski berbagai jarak yang terbentang, aku dan kamu masih berusaha menggapai satu sama lain. Sekedar obrolan singkat di bbm, telfon tengah malam, atau sesekali kamu menjemputku lalu kita nonton di bioskop. Akhirnya aku mengerti arti kalimat ‘jarak tak sanggup memisahkan.’ Toh nyatanya kita masih kuat, meski mungkin intensitas komunikasi kita berkurang hingga 80% dibandingkan dulu. Meski aku punya banyak sahabat lain, begitupun kamu, yang beitu berbeda latar  belakang dan pilihan hidup.

Kamu tahu kenapa? Kamu pasti ingat ketika terakhir aku marah-marah padamu. Kamu tidak meladeni amarahku. Kamu hanya diam, membiarkanku sendirian sejenak, namun tak pernah benar-benar meninggalkanku. Kamu memberiku waktu, hingga akhirnya amarahku yang tak masuk akal mereda, baru kemudian kembali menghubungiku. Mengajaku bicara dan bertanya ada apa.

Kamu tahu? Tak hanya soal menghadapiku ketika marah. Namun di segala suasana hatiku, kamu selalu tau sikap yang tepat untuk menghadapiku. Selalu tau apa yang kumau tanpa kubicara secara gamblang. Selalu mampu menebak suasana  hatiku, meski aku tak bercerita satu katapun padamu.

Aku tak peduli seberapa jauh jaraku berlari di depanmu. Namun setiap aku ingin kembali, aku tahu ke mana aku mencarimu. Dan aku tahu bahwa kamu selalu ada  untukku.

Terima Kasih


6 Februari 2012
Sahabatmu yang selalu kembali mencarimu

Rabu, 01 Februari 2012

Untuk Calon Suamiku


Untuk Calon Suamiku
Sebelum kelak kita membangun sebuah keluarga bahagia, perkenankanlah aku menyampai sesuatu. Izinkan aku mengungkapkan beberapa keinginanku yang ingin kubagi denganmu.

Aku ingin anak-anak kita nanti mendapatkan kasih sayang, perhatian, dan cinta yang melimpah dari kita. aku ingin mereka tumbuh sebagai sosok yang percaya diri, mengenal dirinya sendiri, tangguh, dan bisa mengandalkan dirinya sendiri.
Aku ingin kita mengajarkan kepada mereka untuk tidak tergantung kepada orang lain, untuk melakukan hal-hal yang bisa dilakukan sendiri tanpa bantuan orang lain.
Karena itu, aku ingin kita memberikan contoh-contoh kecil kepada mereka. Dengan tidak menyuruh mereka mengambilkan piring, gelas, makanan, atau minuman, atau apapun yang bisa kita lakukan sendiri. Karena menyuruh mereka hanya akan membuat mereka merasa bisa memerintah siapapun yang menurut mereka lebih ‘rendah’ (entah berdasarkan umur, kedudukan, dan yang lainnya) daripada mereka.

Aku tidak ingin mendengar mereka berteriak-teriak memanggil ‘mbak’ (PRT-red) mereka, untuk diambilkan minum, dipakaikan sepatu, menyuapi makan, dan hal-hal lain yang sebenarnya bisa mereka lakukan sendiri, meski dengan kata tolong sekalipun.

Bukan berarti aku tidak ingin mereka menunjukan kasih sayang kepada kita. Karena aku jamin, mereka akan berlajar dari aku yang memasak dengan cinta untukmu. Membuatkan kopi kesukaanmu, dan kamu pun bisa melakukan hal yang sama untukku. Berdasarkan cinta, bukan berdasarkan kamu mengharuskanku atau sebaliknya.

Aku ingin mereka tumbuh sebagai generasi cerdas dengan kesadaran kritis yang membuat mereka mampu memilih dan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan yang mereka buat, dan konsisten dengan pilihan tersebut.

Aku ingin kita menjawab seluruh pertanyaan mereka, sederhana atapun rumit, meski kita dalam keadaan selelah apapun.

Aku ingin mereka mendapatkan semua penjelasan terkait apa-apa yang mereka tidak boleh lakukan, dan apa-apa yang mereka harus lakukan. Tentang akibat-akibat tertentu dari perbuatan tetentu, membiarkan mereka berpikir, dan memutuskan apa yang baik dan buruk bagi mereka.

Aku ingin memberikan kepercayaan kepada mereka selayaknya orang-orang dewasa. Membuat 'gentleman agreement' dengan mereka, tentang konsekuensi apa yang harus mereka terima dari tindakan-tindakan yang mereka lakukan.

Aku ingin kita memiliki waktu untuk duduk bersama, sekedar sharing pengalama sehari-hari, serta mengambil keputusan-keputusan penting untuk rumah dan keluarga kita. mendengar si adik ingin bersekolah di mana, mendengar si kakak akan mengambil jurusan apa, dan sebagainya.

Aku ingin mengajarkan mereka tentang makna konsistensi, dengan konsisten dalam mendidik mereka. Ketika kita sudah mengatakan tidak terhadap keinginan-keinginan mereka yang memang kita merasa tidak perlu memenuhinya. Memenuhi gentleman agreement yang kita buat dengan mereka, baik terkait kewajiban kita, maupun kewajiban mereka.

Memberikan janji atas reward dan mekanisme punishment yang memang realistis untuk kita terapkan kepada mereka.

Memenuhi semua janji kita kepada mereka, baik yang kita ucapkan, maupun tidak ucapkan kepada mereka.

Kalaupun ada janji yang tidak bisa kita penuhi karena hal-hal di luar kuasa kita, kita harus memberikan kompensasi sesuai kesepakatan ulang yang melibatkan mereka.

Tidak sekalipun mengancam mereka untuk, menurunkan mereka di tengah jalan, meninggalkan mereka di pusat pertokoan, mereka harus tidur di luar rumah, atau hal-hal tidak masuk akal lainnya.

Tetap berkata tidak, ketika anak kita merajuk minta dibelikan mainan, meski kita mulai merasa kasihan, dan memiliki dana untuk menurutinya.

Aku ingin mereka tumbuh sebagai pemberani, mau mengakui kesalahan, dan sanggup untuk belajar dari kesalahan itu.

Aku ingin kita tak segan-segan meminta maaf kepada mereka ketika kita melakukan kesalahan.

Karenanya kitapun tidak boleh segan mengakui kesalahan, atapupun meminta maaf ketika kita berbuat salah kepada mereka ataupun kepada orang lain.

Aku ingin kita duduk bersama, mendiskusikan masalah di antara kita. Berargumentasi, berdiskusi, semua orang berhak bicara.

Aku ingin kita saling menyemangati, mensupport mereka untuk mengambil keputusan berani, dan tetap mendukung mereka apapun yang terjadi dari keputusan tersebut.

Aku ingin mereka bebas mengeksplorasi potensi yang ada di dalam dirinya.

Aku tidak ingin mereka tumbuh di tengah larangan-larangan yang tidak relevan.
Biarkan saja mereka berkotor-kotor ria bermain di luar, atau mencintai hujan seperti mama-nya.

Biarkan saja anak perempuan kita hobi memanjat, atau anak laki-laki kita senang membantu di dapur.

Aku ingin mereka yang memutuskan, ingin les gitar, atau les melukis, ingin taekwondo atau karate, atau memilih untuk ikut les Bahasa Indonesia sekalipun.

Aku ingin mereka menghargai setiap usaha yang dilakukan, baik oleh mereka ataupun oleh orang lain.

Aku ingin mengajarkan mereka untuk ringan mengucapkan terima kasih, untuk tak segan-segan memuji dan memberikan penghargaan kepada orang lain. Karena tentu saja kita tidak pernah segan untuk mengucapkan terima kasih dan member penghargaan setiap usaha mereka.

Aku ingin mereka tahu bahwa setiap butir beras dihasilkan dari usaha dan kerja keras. Dan kita kan mengajarkan mereka untuk tidak menyisakan sebutir nasipun di piring.

Aku ingin mengajarkan mereka bahwa berbeda itu indah, dan keberagaman adalah kekayaan.

Aku ingin mereka bisa bergaul dan berteman dengan siapa saja tanpa tersekat-sekat stereotyping yang tidak penting. Hitam, putih, sipit, belo, lurus, keriting, semua hanyalah cirri-ciri fisiki setiap orang. Sama sekali bukan tentang siapa yang lebih baik, lebih pintar, atau lebih pantas dijadikan teman.

Aku ingin mereka terbiasa dengan perbedaan pendapat. Bahwa masing-masing punya pilihannya sendiri, memilih baju yang akan dikenakan, atau warna cat tembok kamar. Menghargai berbagai pilihan yang diambil, dan jangan lupa konsisten dengan pilihan-pilihan itu.

Dear calon suamiku,
Masih banyak aku ingin-aku ingin lainnya, dan tentu saja aku masih menyisakan ruang untuk mu mengungkapkan ‘aku ingin-aku ingin’ versimu. Agar kita bisa berdiskusi bersama tentang apa yang baik yang kita rasa, saling bertanggung jawab untuk menjalankan tugas, untuk membangun keluarga yang kita pilih sendiri, dengan kebahagiaan yang kita ciptakan sendiri.

Darimu Aku Belajar



Untuk seseorang yang pernah datang dalam hidupku, dan mengajarkanku merasakan sesuatu yang indah.

Mengenalmu merupakan suatu bagian indah dalam hidupku. Menggoreskan sebuah kisah baru dalam lembaran manis hati ini. Merasakan hati ini terasa tak menentu. Gelisah, gundah, dan gulana menyerang, setiap kali sosokmu lewat di depanku.

Menggoreskan rona merah padam di pipiku. Saat tuturmu berbicara, saat telinga ini bergetar mendengarnya. Saat senyumanmu merekah, berikan kesejukan yang tak kunjung reda. Saat matamu menatap dengan lembut, mata ini tertunduk malu tuk sembunyikan perasaanku. Saat kubaca rangkaian katamu yang tergores di kertas, diri ini tak kuasa menahan kekaguman padamu.

Dari kata-katamu aku belajar tentang keindahan. Dari senyummu aku belajar ketulusan. Dari tatapan matamu aku belajar kejujuran. Dari caramu berpikir, mengajarkanku tentang banyak hal. Hidup, kasih terhadap sesama, kepedulian, toleransi, Idealisme, dan kesadaran sebagai makhluk Tuhan.

Dan dari sosokmu aku belajar merasakan getaran yang tak biasa. Menikmati kehangatan yang tak mau reda. Sebuah perasaan yang teramat indah

Darimu aku belajar
Jatuh cinta 

Jakarta, 1 Februari 2011