Halaman

Selasa, 18 September 2012

Cinta di Atas Bukit 3


Topeng di wajahku semakin menipis. Aku melangkahkan kakiku cepat-cepat meninggalkan gerbang sekolah. Syukurlah tak banyak kawan yang kukenal yang harus kulewati. Entah apa aku masih bisa mengumbar senyum di tengah kegundahan dan kesedihan hati ini.

Aku berlari kecil menuju gundukan tanah menyerupai bukit di belakang gedung sekolahku. Tempat di mana aku tanpa sepengetahuan kawan-kawanku biasa menghabiskan sore sendirian. ‘Bukit’ ini tidak terlalu jauh dari sekolah, namun entah kenapa tidak banyak orang yang datang ke sini. Mungkin desas-desus mengenai keangkeran tempat ini membuat dia kehilangan pengungjung. Meski demikian ‘bukit’ ini masih memiliki seorang pengunjung setia. Aku.

Sesampainya di puncak, aku langsung duduk di bawah satu-satunya pohon di sini. Menumpahkan segala gundah dan kesedihan melalui air mata yang kini tumpah tanpa bisa kutahan. Kulepaskan topeng yang sedari tadi kukenakan. Tidak ada lagi senyum yang terpaksa kulengkungkan. Tidak ada lagi keceriaan yang kubuat-buat selama seharian ini.

Pagi tadi aku terbangun dan mendapati Mama sedang berbicara di telefon dengan seorang Bude.
“Aku sudah tidak bisa lagi mempertahankannya, Mbak. Hatiku selalu sakit ketika membayangkannya tidur dengan perempuan lain.” Suara Mama seketika berubah menjadi isakan kecil. Mama hening sejenak sebelum melanjutkan, “aku rasa satu-satunya jalan adalah cerai. Besok aku akan urus ke pengadilan.”

Aku terhenyak. Tanpa kusadari kututup pintu kamarku dengan cukup keras. Aku kembali ke tempat tidur, menutup kupingku kencang-kencang, dan setengah mati menahan tangisan. Rupanya suara pintu yang kututup menyadarkan Mama bahwa anak semata wayangnya sudah bangun dan mendengarkan percakapan di telefon barusan. Mama langsung menyudahi pembicaraan dengan Bude, dan perlahan masuk ke dalam kamarku.

Aku masih terdiam. Masih dalam posisi kedua tanganku menutupi kupingku. Mama menghampiriku. Tangisannya membuatku tersadar, dan meengok ke arahnya. Mama memeluku, seraya berbisik, “kita harus kuat, Nak. Selama kita berdua kita pasti kuat.” Aku pun membalas pelukannya dan berjanji dalam hati, ‘aku harus kuat di hadapan Mama. Aku tidak boleh menangis di depannya.’

Begitulah, aku tetap menjadi gadis Mama yang ceria, yang tak pernah pelit menumbar senyum dan sapa, dan tak pernah bosan mendengarkan kawan-kawanku yang seringkali berkeluh kesah dengan masalah mereka. Rani yang berkeluh kesah uang jajannya dipotong karena pulang malam, atau Risa yang mengeluh karena tidak dibelikan ponsel keluaran terbaru. Seandainya mereka mengetahui masalahku. Sempat terlintas keinginan untuk menceritakan kepada mereka, tapi sulit rasanya mengungkapkan segala sesuatu yang masih menyesak di dada.

Seharian ini aku tak sabar menunggu bel pulang, agar aku bisa menumpahkan segala air mataku di bukitku. Aku hanya butuh meluapkan segala kesedihanku, melepaskan segala gundahku, agar aku merasa lega. Aku sengaja menyembunyikannya dari sahabat-sahabatku. Aku tidak ingin mereka bertanya-tanya. Aku tak butuh ditanya.

 Tiba-tiba saja aku merasakan ada seseorang yang duduk di sebelahku. Aku mengangkat wajahku dan melihat Ega, salah satu teman sekelasku. Dia tersenyum kaku, namun tidak mengucapkan apapun. Aku hanya membuang mukaku. Berusaha menyembunyikan wajah tanpa topengku. Mengira-ngira apa yang akan dilakukan atau dikatakan oleh Ega.

Namun Ega hanya diam. Bahkan dia tidak memandangiku. Sekilas aku melihatnya memainkan rerumputan yang menjadi alas duduk kami. Sekilas lagi aku melihatnya menerawang menatap angan. Kehadiran Ega begitu hening, seakan dia tidak ingin menggangguku. Namun dia tetap di sisiku. Tak beranjak sedetikpun meski keheningan di antara kami sudah berlangsung hampir empat jam.
Sore lalu beranjak menjadi senja, dan malampun menjelang. Hingga bulan telah muncul dengan sempurna, Ega tetap di sampingku. Akhirnya aku mengangkat wajahku dan mencoba menatapnya. Diapun menatap ke arahku, tersenyum ragu-ragu. Kali ini aku membalas senyumannya. Lalu senyumnya perlahan tak lagi ragu-ragu.

Aku menghela nafas panjang sebelum akhirnya kutemukan bibirku bersuara.
“Ga bosen di sini?” tanyaku pada Ega
“Nggak kok, tempatnya bagus, anginnya juga enak,” jawab Ega.
Sejenak kami terdiam. menikmati apa yang melintas di pikiran kami masing-masing.
“Eh, maaf ya kalo aku ganggu. Aku ga bermaksud ganggu kamu, tapi aku pikir, ga akan aman ninggalin kamu sendirian di sini,” ucap Ega gugup.
Aku tersenyum seraya menjawab, ”kamu sama sekali ga ganggu kok.”

Lalu Ega tersenyum lagi. Detik itu aku menyadari betapa menariknya senyuman Ega. Bersamaan dengan aku menyadari bahwa di balik kacamatanya, ada mata yang begitu teduh menenangkan.
“Kamu sering ke sini?” kata Ega lagi.
Aku menjawab dengan anggukan.
“Hmm, kalau emang aku ga ganggu, boleh aku tetap di sini, nemenin kamu?” tanyanya.
Lagi-lagi aku hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Seraya berbisik di dalam hati, wahai bukitku, kali ini kamu mendapatkan pengunjung baru.

On the night like this, There are so many things I wanna tell you 
On the night like this, There so many things I wanna share you 
Cause when you’re around, I feel safe and warm 
Cause when you’re around, I can fall in love everyday 
In the case like thisThere a thousand good reasons, I want you to stay. 
(On The Night Like This- Mocca)

Sabtu, 15 September 2012

Pertama dan Terakhir


Gigitanku di bibir bawahku semakin keras karena setengah mati menahan tangis. Meski tak sanggup tersenyum, namun takkan kubiarkan sebutirpun air mata jatuh di hadapanmu. Sementara kamu hanya diam memandangiku. Tanpa kamu sadar bahwa aku sudah hampir tak kuat berdiri.

Kamupun menarik napas panjang, sebelum berkata, “Ras, kamu berhak mendapatkan seseorang yang lebih baik.” Akhirnya kalimat klise itu keluar juga dari mulutmu. Kalimat yang membuatku tertawa miris. Dari dulu aku paling muak dengan alasan semacam itu. Jangan kamu pikir aku tak tahu. Intinya kamu berhenti menginginkanku, itu saja. Alasan ‘berhak mendapatkan yang lebih baik’ hanyalah omong kosong.

Namun aku tak mendebatmu. Hanya tersenyum sekilas, dan berlalu meninggalkanmu. Aku tak lagi bertanya-tanya apa yang membuatmu berubah. Tak lagi mencari-cari kesempatan untuk tetap mempertahankan hubungan kita. Kalimat klisemu berarti satu, kita telah usai. Itu saja.

Tiba di rumah, aku menangis sejadi-jadinya. Merasakan segala harapan yang hancur lebur berantakan. Segala gengsi dan tinggi hati yang tadi terjaga rapi di hadapanmu, kini runtuh. Hanya menyisakan air mata dan sesak di dada, yang entah berapa lama harus kurasa. Karena aku masih begitu mencintaimu, sangat mencintaimu.

Bayangan tentangmupun muncul layaknya adegan demi adegan film yang diputar di dalam sanubariku. Dimulai ketika kita pertama kali bertemu. Masih begitu jelas, seakan baru terjadi kemarin.

Hari itu, seperti biasa aku berangkat ke kampus dengan angkutan umum. Di dalamnya tidak terlalu ramai, namun tidak terlalu sepi. Ada aku, kamu yang duduk tepat di depanku, seorang ibu dengan dua anak perempuannya, seorang Bapak bertubuh gempal, dan seorang perempuan muda yang usianya mungkin sama denganku. Di tengah perjalanan, seorang pengamen kecil naik dan menyanyikan lagu Darah Juang. Aku merogoh tas ranselku. Meraih sekotak susu UHT rasa coklat yang memang selalu kusediakan untuk adik-adik kecil yang mengamen di angkutan umum.

Selesai bernyanyi, sang pengamen cilik menjulurkan tangannya untuk meminta recehan. Ketika tangan itu sampai di hadapanku, aku mengulurkan tanganku yang sedari tadi masih tersembunyi di dalam ransel seraya memegang susu coklat untuknya. Namun kulihat susu coklatku tidak sendirian. Ada susu coklat lain yang terulur untuk si pengamen cilik, dengan merk yang sama, ukuran yang sama, bahkan rasa yang sama, dari tanganmu.

Kita pun saling bertatapan dan tersenyum sekilas. Sementara si pengamen kecil tidak segera merih dua susu coklat yang diulurkan kepadanya.
“Eh, saya ambil yang mana ya?” katanya bingung.
“Hmmm, ambil dua-duanya aja Dik,” ucapmu seraya tersenyum hangat.
“Yang satu kan bisa diminum besok, atau bisa juga dibagi ke temanmu,” aku pun ikut menimpali.
Si pengamen kecilpun meraih kedua kotak susunya sambil tersenyum, sebelum kemudian turun dari angkutan umum, dan berlari-lari riang ke tepi jalan.

Sejak detik itu, aku jadi memperhatikanmu. Kamu bukanlah pria tampan dalam khayalanku. Berwajah jawa, berhidung tidak terlalu mancung, dengan celana bahan, dan kemeja sederhana. Hanya saja entah kenapa kesederhanaanmu membuahkan kehangatan.

Tak terasa angkutan umum yang kita tumpangi sudah sampai di depan jalan kampusku. Ternyata bukan hanya jalan kampusku, melainkan jalan kampus kita. kamu turun di tempat yang sama, dan kita menyeberang bersamaan. Akhirnya, kitapun memutuskan untuk berjalan beriringan.
“Kuliah di sini juga? Tanyamu.
“Iya,” jawabku.
“Fakultas apa?” tanyamu lagi
“Fisip. Kamu?” kali ini aku ikut bertanya.
“Teknik,” jawabmu.
Lalu kita sempat terdiam. Canggung, mencari bahan pembicaraan.
Tiba-tiba kamu mengulurkan tanganmu.
“Ohiya, kita belum kenalan. Aku Alan,” ucapmu, lagi-lagi dengan senyummu yang begitu hangat.
“Aku Laras,” ucapku sambil memamerkan senyum termanis yang kumiliki.

Perkenalan kita, yang berlanjut menjadi sebuah pertemanan. Ketika hari-hariku akhirnya selalu diisi denganmu. Berangkat dan pulang kampus bersama, Makan siang di Fakultas Ilmu Budaya, yang letaknya di antara kampusku dan kampusmu, berdiskusi tentang banyak hal, hingga SMS-SMS manis yang setiap hari selalu memenuh inbox HPku.

Tanpa kamu sadari, aku belajar banyak hal darimu. Kamu begitu bijaksana dalam melihat setiap persoalan. Kamu selalu bisa membuatku yakin ketika aku ragu-ragu dalam membuat keputusan. Kamu mengajarkanku untuk berpikir positif, dan berani mengambil kesempatan yang ada di hadapanku. Kamu selalu bisa membuatku bersemangat dan percaya bahwa tak ada yang tak bisa aku lakukan, asal aku mau berusaha.

Aku yang sejak awal terkesan denganmu, kemudian mengagumi, dan secara perlahan namun pasti, jatuh cinta kepadamu. Tak kukira cintaku terbalas. Setelah dua tahun kita saling mengenal, kamu mengungkapkan perasaanmu. Hari itu adalah hari paling bahagia untukku. Kamu cinta pertama untukku, pacar pertamaku, pria pertama yang kuizinkan masuk ke dalam hatiku di usiaku yang tak lagi remaja.

Seandainya kamu ingat. Sesaat setelah kita jadian dulu, kita saling bergenggam tangan, seraya mendengar sebuah lagu. Aku sempat berbisik di telingamu, memintamu menyimak sepenggal lirik lagu itu, “Tuh, dengerin ya Lan.” Kamu hanya tersenyum, seraya membelai rambutku.

Bila suatu saat kau harus pergi
Jangan paksa aku tuk cari yang lebih baik.
Karena senyumu menyadarkanku
Kaulah cinta pertama dan terakhirku
-Sherina-

Rabu, 12 September 2012

Cinta di Atas Bukit 2


Namamu Fajar Pandega. Fajar artinya pagi. Sebagaimana aku selalu menanti pagi yang hangat, seperti itu pula aku menghitung hari menanti kepulanganmu. Semenjak hari itu ketika kita bertemu di bukit belakang sekolah. Sebuah gundukan rumput saja sebenarnya. Tempat kita biasa berbagi cerita, berbagi rasa berbagi mimpi.

Kita duduk berdua di bawah satu-satunya pohon yang ada di sana. Tempat favorit kita, seperti biasa. Tapi ada yang tidak biasa. Kamu tampak gelisah. Tatapan matamu menerawang tak tentu arah. Aku mencoba menerka, namun ternyata aku tak mampu membaca.

Hari ini, kita merayakan kelulusan kita berdua saja. Dalam hening yang menyenangkan, menikmati lagu indah dari semilir angin dan dedaunan yang saling bergesekan. Kamu tahu? Hanya denganmu aku merasa nyaman untuk melakukan apa saja. Bahkan dalam kesunyian di antara kita. Dari dulu aku percaya, kesunyianan bukan berarti canggung. Namun baru denganmulah aku bisa menikmati kesunyian, tanpa kekakuan. Kita tak perlu bicara, hanya duduk berdampingan, dan sama-sama menikmati keindahan yang tercipta di sekitar kita.

Lalu, tiba-tiba suaramu memecah keheningan.
“Kar, setelah wisuda nanti, aku akan langsung meneruskan studiku.”
“Ohya? Wiihh, Hebat. Beasiswa? Selamat ya,” seruku senang.

Kamu tersenyum sekilas. Sekilas saja. Aku bertanya-tanya. Bukankah seharusnya kamu gembira? Bukannya kamu tidak terlihat bahagia, hanya saja sepertinya ada hal yang berat yang mengganjal di benakmu. Aku tersenyum seraya memandangmu, lagi-lagi mencoba menerka, menyelidiki apa yang ada di balik wajahmu.

“Kar, aku akan S2 di Australi,” ucapmu sangat pelan dan hati-hati. 

Namun telingaku sanggup menerima ucapanmu. Mencernanya di dalam otaku. Aku terdiam, menahan segala rasa yang tiba-tiba bergejolak di hatiku, menuntut untuk diteriakan. Bibirku menjadi kelu. Namun aku tetap mencoba tersenyum. Entah seperti apa senyum itu di matamu, mungkin terlihat palsu. Tapi asal kamu tahu, saat itu aku berusaha keras membentuk lengkungan manis di bibirku.

Di depan mataku terbersit bayangan perpisahan. Aku tak mampu lagi mengendalikan setiap kata yang terucap dari bibirku setelah itu. Jiwaku tiba-tiba hampa, ada yang pergi entah kemana.  

Dan di sinilah aku, di bukit kita, hampir setiap pagi. Melewati pagi demi pagi. Mencoret tanggal demi tanggal, menghitung hari, menantikan kedatanganmu.

Seandainya saat itu aku tak menahan rasaku yang bergejolak. Seandainya aku meneriakan apa saja yang ada di benakku.

Pagi, jangan pergi,
 Kutakut malam nanti ku masih sendiri
 Dan pagimu tak lagi indah
 (Pagi, by Dialog Dini Hari)

Minggu, 09 September 2012

Cinta di atas Bukit 1


Kalau bukan dia, mungkin sampai kapanpun aku tak akan pernah siap

Ega,
Bogor, 9 September 2012
Seperti biasanya bukit kami selalu indah. Ah, tentu saja bukan bukit sungguhan. Hanya segunduk tanah di belakang sekolah kami dulu. Rerumputan yang tumbuh tak beraturan, lalu di berbagai tempat bunga-bunga yang tumbuh mulai bermekaran. Tapi keindahan bukit ini bukan sekedar di rerumputan hijaunya. Bukan pula di bunga warna warni yang tengah bersemi.

Sekar. Sahabatku, yang diam-diam juga telah menempati sebuah ruang besar di dalam hatiku. Kekasihku.

“Angin di sini tu selalu pas ya. Ga teralu kencang, tapi juga cukup sejuk,” ucap Sekar.

Kata yang selalu dia ulang setiap kami melewatkan waktu berdua di bukit. Entah sejak kapan tepatnya, aku tak mencatat tanggalnya. Sejak aku menemukannya menangis seraya duduk di atas batu. Sekar yang populer dan terkenal sebagai perempuan yang ceria dan selalu tegar. Tempat kawan-kawannya mencurahkan perasaan, dan selalu diladeninya dengan sabar dan bijaksana. Sebelumnya aku jarang berinteraksi dengannya. Namun sejak aku melihatnya berair mata dan memberanikan diri duduk di sampingnya. Sejak saat itu, tanpa terucap, kami selalu kembali ke bukit kami. Berdua, sekedar menikmati semilir angin, dan mengawasi hampir setiap tangkai bunga yang tumbuh di sekitar satu-satunya pohon di bukit kami. Tempat favorit kami.

“Ga, Ga, tuhkan, kamu pasti ga denger ya aku ngomong dari tadi?”
“Eh, Maaf Kar, kenapa?”
“Kamu tu tumben amat bengong gitu, dari tadi ngeliatin aku ga jelas. Katanya ada yang mau diomongin?”
***
Sekar,
Bogor, 9 September 2012
Angin di bukit kami tak pernah berubah. Satu-satunya tempat dimana aku merasa nyaman, dan bahkan merasa bisa menjadi diriku sendiri. Bebas mengkhayal dan bermimpi. Apalagi sejak dia muncul di dalam hidupku. Berbagi berbagai hal tanpa merasa sungkan, tanpa merasa khawatir. Ega. Si kutubuku sekolah, yang setiap hari duduk di kursi paling depan. Dulu kami jarang bertegur sapa. Matanya selalu berada di balik buku. Bahkan waktu istirahatpun, seringkali dia lewatkan dengan membaca.

Lalu suatu hari secara ajaib dia hadir ke hidupku. Ketika aku sedang sedih menghadapi perceraian Mama Papaku. Aku hanya bisa mengadu melalui air mata yang kutumpahkan ketika ku sendirian. Saat itulah aku merasa ada seseorang duduk di sebelahku. Ega, dia hanya memandangku, dan tersenyum malu-malu. Lalu perlahan senyumnya tak lagi ragu-ragu. Tanpa bertanya, tanpa bicara, dia tetap di sisiku. Tidak memaksaku bercerita, dan membiarkanku menumpahkan air mata.

Sejak saat itu, kami pun selalu menikmati bukit kami. Meski kelulusan tak terelakan, dan kami melanjutkan studi kami di kampus masing-masing. Namun tanpa janji, setiap minggunya, bukit kami selalu menjadi tempat sempurna untuk kami berdua.

Selama dua tahun, kami terpaksa pergi sendiri-sendiri. Lantaran setelah lulus kuliah, Ega memutuskan untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ketika dia pulang, justru aku yang berhasil mendapatkan beasiswa yang kuincar sejak aku di tingkat akhir S1 ku. Begitu aku kembali, Ega langsung menelfonku meminta bertemu. Dia berkata ada hal yang ingin disampaikan. Entah kenapa, sejak telefonnya itu, jantungku berdegup tak karuan.

Di sinilah kami sekarang, di bukit kami. Namun sejak tadi, Ega lebih banyak diam. Sempat dia menatapku, kukira dia mendengarkanku bicara. Tapi jangankan mendengar kata-kataku. Sepertinya pikirannya berkelana entah dimana.

“Ga, kok bengong lagi si?”
“Maaf Kar. Ada yang ingin aku bicarakan, serius denganmu.”
Deg, jantungku berdegup semakin cepat. Tatapan Ega tajam menuju mataku, dan terasa hingga ke jantungku.
***
Ega,
Bogor, 30 Juli 2010
Kami baru saja lulus kuliah. Aku langsung mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi S2ku. Hari ini,  aku bertekad untuk menyampaikan perasaanku pada Sekar. Perasaan yang entah sejak kapan muncul di dalam hatiku. Mungkin karena terbiasa, mungkin juga sudah tumbuh sejak awal kami betemu.

 “Ga, ga terasa ya, akhirnya kita lulus kuliah.”
“Yup! Empat tahun selesai, kuliah beres, tinggal kerja, terus kawin deh.”
“Huahahaha, kawin?”
“Yaiyalah, emang kamu ga kepengen kawin?”
“Belom siap Ga.”
“kenapa?”
“Aku belum siap melepaskan semua mimpi-mimpi aku.”
“Loh, emangnya kalo kawin kamu harus melepaskan mimpi-mimpi kamu?
“Yah, kamu kayak ga tau aja di Indonesia ini, perempuan tu dibebankan pekerjaan rumah tangga. Jadi kalau udah nikah, ujung-unjungnya pasti sibuk ngurusin suami, ngurusin anak, dan lain sebagainya. Kalo sudah begitu, impian-impian aku yang banyak itu, kapan dikejarnya?”
“Hahaha, emang pasti gitu? Cari suaminya jangan yang patriarkis donk.”
“Nah itulah susahnya di Indonesia. mana ada cowok yang mau ngerti kalau kerjaan rumah tangga tu juga pekerjaan laki-laki. Bahwa masak, nyuci, dan lain sebagainya itu juga ga aneh kalau dikerjakan laki-laki. Coba, mana ada laki-laki yang ketika istrinya ingin menggapai mimpinya, sementara ada kebutuhan pengasuhan dan pendidikan anak, terus demi mendorong si istri menggapai mimpi dia mau berhenti kerja dan mengurus anaknya plus mengurus rumah tangga?“
“Jadi kamu pengen punya suami yang mau di rumah, sementara kamu sibuk mengejar impian kamu di luar rumah?”
“Ya ga gitu juga, kan bisa diomongin sama-sama. Impianku apa, impian suamiku apa, kapan kita bisa sama-sama lari, kapan kita harus gantian lari. Tapi kenyataannya selama ini kan ga ada laki-laki yang mendukung istrinya seperti itu. Ngasih izin aja, udah dianggap mendukung, padahal kan ga sesederhana itu. Sebaliknya, perempuan selalu dituntut untuk mau berkorban dalam situasi seperti itu.”

Aku terdiam menyimak ucapanmu. Tidak mengangguk, tidak pula membantah.

“Kecuali kalau”
“Kalau apa?”

Sekar hanya diam tak menjawab, lalu malah sibuk menceritakan pengalaman barunya sebagai wartawan.

Kalau saja aku tetap maju. Tetap menyampaikan perasaanku, mengajaknya menikah, dan membawanya menyertaiku menjalani studiku ke negeri kanguru. Tapi aku terlalu takut akan penolakan. Aku melewatkan kesempatan itu.
***
Sekar,
Bogor, 30 Juli 2012
Aku yang diam-diam memendam rasa sejak SMA, ingin menyampaikan perasaanku pada Ega. Hari ini, di bukit kami, kubulatkan tekadku. Kukuatkan hatiku, aku tak peduli, risiko apapun yang akan datang, aku tak bisa diam lagi. Namun ternyata, tekadku bisa kandas juga. Ega pamit untuk melanjutkan studinya ke Australia. Membuatku tiba-tiba merasa hampa.

Lalu entah bagaimana, kami bicara soal pernikahan. Secara spontan dan salah tingkah aku bilang aku belum siap, dengan segala alasan yang kubuat, yang sebenarnya bisa terbantahkan kalau saja.

 “Kecuali kalau”
“Kalau apa?”

Seandainya aku berani, mengucapkan kata-kata yang menyangkut di kerongkonganku, ‘kecuali kalau kamu yang menjadi suamiku.’
***
Ega
Bogor, 9 September 2012
Inilah saatnya. Aku yakin sekaranglah waktu yang tepat. Aku tahu risikonya. Tapi aku tak sanggup kehilangan kesempatan untuk meraih impianku. Dua tahun lalu aku melewakan kesempatanku. Tapi tidak kali ini.

Sekar
Bogor, 9 September 2012
Ega, seandainya dia tahu. Sejak dia jauh, aku terpaksa mendatangi bukit kami sendirian. Berbicara dengan angin, berharap angin bisa menerbangkan rinduku kepadanya yang di seberang lautan. Sejak saat itu aku mengerti rindu, sejak saat itu aku tahu rasanya cemburu.

Ega, apakah gerangan yang ingin dia sampaikan. Entah kenapa, harapan-harapan tentang dia, tentang rasaku padanya muncul tiba-tiba. Aku tak sanggup menahan degup jantungku yang begitu kencang. Aku takut dia mendengar.
***
Ega dan Sekar,
Bogor 9 September 2012
“Sekar, aku ingin kamu menjadi istriku.”
Sekar terdiam. Tak menjawab, hanya pipinya yang terlihat merona, dan matanya yang bersinar lembut.
“Aku mencintai kamu, Sekar. aku mencintai impianmu, termasuk mencintai segala risiko menjadi suami kamu.”
“Ga,”
“Aku serius Sekar. Ga ada yang lebih membuat aku bahagia, selain dengan membahagiakanmu. Dan ga ada yang paling aku inginkan, selain mengejar mimpi dan menjalani hidup bersamamu.
“Ga, sekarang giliran aku yang bicara. Aku mau.”
“Serius? Tapi kamu..." Suara Ega terhenti.
Sekar menatap Ega, dengan pandangan bertanya.
Kamu, siap nikah kan?”
Sekar tersenyum. matanya menatap Ega lembut, dengan penuh keyakinan, dia menjawab,
“Iya, Ga, kalau denganmu, aku siap. Aku tau kamu, aku tau cara kamu memandang relasi suami istri. Aku tau impianmu, dan aku yakin, impianmu, impianku, akan menjadi impian kita, dan kita bisa raih bersama.”
Ega pun memeluk Sekar. Mendekapnya lembut, merasakan setiap energi cinta yang mengalir di antara mereka.
“Aku akan membahagiakanmu Kar,” janji Ega.
“Kalau bukan kamu Ga, mungkin sampai kapanpun aku tak akan pernah siap,” bisik Sekar.
***
Terinspirasi dari lagu Perahu Kertas, Maudy Ayunda
Betapa ajaib hidup ini
Mencari-cari tambatan hati
Kau sahabatku sendiri
Hidupkan lagi mimpi-mimpi
Cita-cita
Berdua ku bisa percaya