Halaman

Kamis, 27 Desember 2012

Jatuh Cinta dengan Logika

Ya, aku jatuh cinta padamu. Rasanya kalimat itu tak hanya membuat lidahku kelu. Namun juga membuat jariku kaku. Jariku yang beberapa bulan belakangan ini berperan aktif menyampaikan pesanku padamu. Jariku yang setengah mati menahan agar huruf r, i, n, d, & u di keypad tidak terpencet secara berurutan. Jariku yang seringkali tak sabaran menahan lincah geraknya, demi menunggu otaku yang masih terus berpikir, memilah, & memilih kata apa yang paling tepat untuk kusampaikan padamu.

Bagiku, cinta itu harus pakai otak. Cinta itu harus tetap menggunakan logika. Toh berpikir logis tidak akan mengurangi cinta yang dalam dan manis. Sebaliknya, dia menjadikan cinta kuat, anggun, teguh. Bukannya mengumbar air mata dengan kisah cinta yang tak sampai, apapun alasannya. Budaya? Nilai? Keluarga? Apapun itu, jika logika memutuskan tak hendak memperjuangkan cinta, lalu buat apa dia dipertahankan? Atas nama pengorbanan? Bukankah cinta seharusnya membahagiakan?

Aku jatuh cinta padamu belum begitu lama. Kalaupun sudah menginjak tahun, mungkin baru saja melewati tahun pertama. Perasaan itu datang, jujur bukan karena ada getar yang kurasakan setiap aku di dekatmu. Apalagi sampai memimpikan senyummu. Toh kenanganku tentangmu lebih banyak tentang ungkapan kesal, nada mengkritik, atau tatapan menyebalkan, ketika ada hal yang kamu tak suka.

Aku jatuh cinta padamu karena pemikiranmu. Karena caramu melihat hidup, memandang persoalan, dan menyikapinya dengan lentur, namun tetap 'bersikap.' Aku jatuh cinta padamu melalui diskusi-diskusi kita, melalui untaian kata yang kau rangkaikan lalu kubaca, melalui sikap, tanduk, cara, langkahmu yang kuperhatikan diam-diam.

Mengenalmu, entah kenapa membuatku percaya. Bahwa ada seseorang yang bisa memahami pemikiranku, kedaulatanku atas diriku sendiri, & harapanku tentang relasi perempuan-laki2,  istri-suami yang ideal. Karena itu aku jatuh cinta. Jatuh cinta dengan segala logika, jatuh cinta secara sadar dan rasional.

Maka rasioku terus membututi jari jemariku. Agar tetap menjaga sikapnya, agar tidak mengirimkan sinyal yang belum waktunya menyala. Rasio yang mengolah cinta dan rindu, menjadi keseharian biasa, tanpa harus menggebu, tanpa harus menuntut. Aku menunggu, aku menahan. Bukan berarti aku tak mau berjuang. Hanya saja aku belum selesai membacamu.

Pada saatnya nanti, bila lembar-lembar bukumu telah habis kubaca. Jika aku berhasil sampai ke endingnya, bisa jadi cintaku terungkap, cintaku terjawab, cintaku terbalas.

Namun jika tidak, biar aku menikmati kembali rasanya patah hati, menggali pembelajaran untuk melangkah lebih pasti. Patah hati hanya proses yang harus dilewati, sedang bangkit adalah keniscayaan. Begitulah logikaku menjanjikan.