Halaman

Minggu, 05 Februari 2012

Untuk Seorang Sahabat




Kalaulah kita pernah jatuh saling jatuh cinta, mungkin itu sudah lama sekali. Karena di usia persahabatan kita yang mencapai lebih dari 10 tahun, perasaankupun sudah sekian kali berganti, begitupun harapanku tentangmu dan tentang hubungan kita.

Hari ini, jarak kita merekah terlalu jauh. Meski latar belakang keilmuan kita sama, namun kamu dan aku memiliki pilihan yang berbeda. Ah, tak sekedar soal pilihan karier atau rencana hidup lainnya, tapi juga pilihan cara menghadapi hidup. Jujur, aku sering berbesar kepala, menganggapku sudah jauh berlari mendahuluimu. Meninggalkanmu yang memang memilih tuk ketinggalan. Tak mungkin lagi kamu susul dengan langkahmu, sekencang apapun kamu berusaha berlari.

Kamu pernah bilang, aku terlalu serius menjalani hidup, terlalu keras dengan diriku, terlalu membatasi pilihan-pilihanku, karena nilai-nilai yang kuyakini dan berusaha kujalani dengan konsisten. Karena aku terlalu banyak menimbang dan bepikir, tak hanya memikirkan diriku, tapi juga keluargaku, dan bahkan lingkunganku. Sedangkan aku, sering kau buat geregetan, karena langkah-langkahmu yang lambat dan ragu-ragu. Karena ketakutan-ketakutanmu menjalani apa yang kamu sebut dengan ‘hidup yang sesungguhnya.’ Karena ketidaksiapanmu untuk mengemban tanggung jawab sebagai seorang pria dewasa, baik untuk lingkunganmu, keluargamu, dan yang terpenting untuk dirimu sendiri.

Aku bilang, aku tidak keras, aku hanya berusaha untuk disiplin, berusaha menyinergiskan antara apa yang kupercaya, dengan sikap, kata, dan keseharianku lainnya. Sejak dia begitu besar dan absurd sebagai nilai, hingga terejewantahkan dalam hal-hal kecil, melalui kata-kata dan prilaku. Kamu bilang kamu hanya ingin menikmati hidupmu. Melakukan apa yang kamu suka sebelum memasuki tahap yang kamu bilang tahap hidup yang sesungguhnya. Sebuah tahap yang sudah kumasuki satu setengah tahun sebelumnya.

Hey, kamu pikir aku tidak menikmati hidupku? Ah, aku ingat kita bahkan pernah berdebat tentang arti menikmati hidup. Toh kamu sudah mengalah kala itu. Kamu mengakui bahwa di tengah pilihan-pilihanku yang menurutmu serius, aku mampu menikmati hidupku. Meski lagi-lagi kamu teus mengingatkanku untuk tidak terlalu serius dan keras pada diriku.

Meski berbagai jarak yang terbentang, aku dan kamu masih berusaha menggapai satu sama lain. Sekedar obrolan singkat di bbm, telfon tengah malam, atau sesekali kamu menjemputku lalu kita nonton di bioskop. Akhirnya aku mengerti arti kalimat ‘jarak tak sanggup memisahkan.’ Toh nyatanya kita masih kuat, meski mungkin intensitas komunikasi kita berkurang hingga 80% dibandingkan dulu. Meski aku punya banyak sahabat lain, begitupun kamu, yang beitu berbeda latar  belakang dan pilihan hidup.

Kamu tahu kenapa? Kamu pasti ingat ketika terakhir aku marah-marah padamu. Kamu tidak meladeni amarahku. Kamu hanya diam, membiarkanku sendirian sejenak, namun tak pernah benar-benar meninggalkanku. Kamu memberiku waktu, hingga akhirnya amarahku yang tak masuk akal mereda, baru kemudian kembali menghubungiku. Mengajaku bicara dan bertanya ada apa.

Kamu tahu? Tak hanya soal menghadapiku ketika marah. Namun di segala suasana hatiku, kamu selalu tau sikap yang tepat untuk menghadapiku. Selalu tau apa yang kumau tanpa kubicara secara gamblang. Selalu mampu menebak suasana  hatiku, meski aku tak bercerita satu katapun padamu.

Aku tak peduli seberapa jauh jaraku berlari di depanmu. Namun setiap aku ingin kembali, aku tahu ke mana aku mencarimu. Dan aku tahu bahwa kamu selalu ada  untukku.

Terima Kasih


6 Februari 2012
Sahabatmu yang selalu kembali mencarimu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar