Kalaulah kita pernah jatuh saling jatuh cinta, mungkin itu sudah lama
sekali. Karena di usia persahabatan kita yang mencapai lebih dari 10 tahun,
perasaankupun sudah sekian kali berganti, begitupun harapanku tentangmu dan
tentang hubungan kita.
Hari ini, jarak kita merekah terlalu jauh. Meski latar belakang
keilmuan kita sama, namun kamu dan aku memiliki pilihan yang berbeda. Ah, tak
sekedar soal pilihan karier atau rencana hidup lainnya, tapi juga pilihan cara
menghadapi hidup. Jujur, aku sering berbesar kepala, menganggapku sudah jauh
berlari mendahuluimu. Meninggalkanmu yang memang memilih tuk ketinggalan. Tak mungkin
lagi kamu susul dengan langkahmu, sekencang apapun kamu berusaha berlari.
Kamu pernah bilang, aku terlalu serius menjalani hidup, terlalu keras
dengan diriku, terlalu membatasi pilihan-pilihanku, karena nilai-nilai yang
kuyakini dan berusaha kujalani dengan konsisten. Karena aku terlalu banyak
menimbang dan bepikir, tak hanya memikirkan diriku, tapi juga keluargaku, dan
bahkan lingkunganku. Sedangkan aku, sering kau buat geregetan, karena
langkah-langkahmu yang lambat dan ragu-ragu. Karena ketakutan-ketakutanmu
menjalani apa yang kamu sebut dengan ‘hidup yang sesungguhnya.’ Karena ketidaksiapanmu
untuk mengemban tanggung jawab sebagai seorang pria dewasa, baik untuk
lingkunganmu, keluargamu, dan yang terpenting untuk dirimu sendiri.
Aku bilang, aku tidak keras, aku hanya berusaha untuk disiplin,
berusaha menyinergiskan antara apa yang kupercaya, dengan sikap, kata, dan
keseharianku lainnya. Sejak dia begitu besar dan absurd sebagai nilai, hingga
terejewantahkan dalam hal-hal kecil, melalui kata-kata dan prilaku. Kamu bilang
kamu hanya ingin menikmati hidupmu. Melakukan apa yang kamu suka sebelum
memasuki tahap yang kamu bilang tahap hidup yang sesungguhnya. Sebuah tahap
yang sudah kumasuki satu setengah tahun sebelumnya.
Hey, kamu pikir aku tidak menikmati hidupku? Ah, aku ingat kita bahkan
pernah berdebat tentang arti menikmati hidup. Toh kamu sudah mengalah kala itu.
Kamu mengakui bahwa di tengah pilihan-pilihanku yang menurutmu serius, aku
mampu menikmati hidupku. Meski lagi-lagi kamu teus mengingatkanku untuk tidak
terlalu serius dan keras pada diriku.
Meski berbagai jarak yang terbentang, aku dan kamu masih berusaha
menggapai satu sama lain. Sekedar obrolan singkat di bbm, telfon tengah malam,
atau sesekali kamu menjemputku lalu kita nonton di bioskop. Akhirnya aku
mengerti arti kalimat ‘jarak tak sanggup memisahkan.’ Toh nyatanya kita masih
kuat, meski mungkin intensitas komunikasi kita berkurang hingga 80%
dibandingkan dulu. Meski aku punya banyak sahabat lain, begitupun kamu, yang
beitu berbeda latar belakang dan pilihan
hidup.
Kamu tahu kenapa? Kamu pasti ingat ketika terakhir aku marah-marah
padamu. Kamu tidak meladeni amarahku. Kamu hanya diam, membiarkanku sendirian
sejenak, namun tak pernah benar-benar meninggalkanku. Kamu memberiku waktu,
hingga akhirnya amarahku yang tak masuk akal mereda, baru kemudian kembali
menghubungiku. Mengajaku bicara dan bertanya ada apa.
Kamu tahu? Tak hanya soal menghadapiku ketika marah. Namun di segala
suasana hatiku, kamu selalu tau sikap yang tepat untuk menghadapiku. Selalu tau
apa yang kumau tanpa kubicara secara gamblang. Selalu mampu menebak
suasana hatiku, meski aku tak bercerita
satu katapun padamu.
Aku tak peduli seberapa jauh jaraku berlari di depanmu. Namun setiap
aku ingin kembali, aku tahu ke mana aku mencarimu. Dan aku tahu bahwa kamu
selalu ada untukku.
Terima Kasih
6 Februari 2012
Sahabatmu yang selalu kembali mencarimu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar