Topeng di
wajahku semakin menipis. Aku melangkahkan kakiku cepat-cepat meninggalkan
gerbang sekolah. Syukurlah tak banyak kawan yang kukenal yang harus kulewati.
Entah apa aku masih bisa mengumbar senyum di tengah kegundahan dan kesedihan
hati ini.
Aku berlari
kecil menuju gundukan tanah menyerupai bukit di belakang gedung sekolahku.
Tempat di mana aku tanpa sepengetahuan kawan-kawanku biasa menghabiskan sore
sendirian. ‘Bukit’ ini tidak terlalu jauh dari sekolah, namun entah kenapa tidak
banyak orang yang datang ke sini. Mungkin desas-desus mengenai keangkeran
tempat ini membuat dia kehilangan pengungjung. Meski demikian ‘bukit’ ini masih
memiliki seorang pengunjung setia. Aku.
Sesampainya
di puncak, aku langsung duduk di bawah satu-satunya pohon di sini. Menumpahkan
segala gundah dan kesedihan melalui air mata yang kini tumpah tanpa bisa
kutahan. Kulepaskan topeng yang sedari tadi kukenakan. Tidak ada lagi senyum
yang terpaksa kulengkungkan. Tidak ada lagi keceriaan yang kubuat-buat selama
seharian ini.
Pagi tadi
aku terbangun dan mendapati Mama sedang berbicara di telefon dengan seorang
Bude.
“Aku sudah
tidak bisa lagi mempertahankannya, Mbak. Hatiku selalu sakit ketika
membayangkannya tidur dengan perempuan lain.” Suara Mama seketika berubah
menjadi isakan kecil. Mama hening sejenak sebelum melanjutkan, “aku rasa
satu-satunya jalan adalah cerai. Besok aku akan urus ke pengadilan.”
Aku
terhenyak. Tanpa kusadari kututup pintu kamarku dengan cukup keras. Aku kembali
ke tempat tidur, menutup kupingku kencang-kencang, dan setengah mati menahan
tangisan. Rupanya suara pintu yang kututup menyadarkan Mama bahwa anak semata
wayangnya sudah bangun dan mendengarkan percakapan di telefon barusan. Mama
langsung menyudahi pembicaraan dengan Bude, dan perlahan masuk ke dalam
kamarku.
Aku masih
terdiam. Masih dalam posisi kedua tanganku menutupi kupingku. Mama
menghampiriku. Tangisannya membuatku tersadar, dan meengok ke arahnya. Mama
memeluku, seraya berbisik, “kita harus kuat, Nak. Selama kita berdua kita pasti
kuat.” Aku pun membalas pelukannya dan berjanji dalam hati, ‘aku harus kuat di
hadapan Mama. Aku tidak boleh menangis di depannya.’
Begitulah,
aku tetap menjadi gadis Mama yang ceria, yang tak pernah pelit menumbar senyum
dan sapa, dan tak pernah bosan mendengarkan kawan-kawanku yang seringkali
berkeluh kesah dengan masalah mereka. Rani yang berkeluh kesah uang jajannya
dipotong karena pulang malam, atau Risa yang mengeluh karena tidak dibelikan
ponsel keluaran terbaru. Seandainya mereka mengetahui masalahku. Sempat
terlintas keinginan untuk menceritakan kepada mereka, tapi sulit rasanya
mengungkapkan segala sesuatu yang masih menyesak di dada.
Seharian ini
aku tak sabar menunggu bel pulang, agar aku bisa menumpahkan segala air mataku
di bukitku. Aku hanya butuh meluapkan segala kesedihanku, melepaskan segala
gundahku, agar aku merasa lega. Aku sengaja menyembunyikannya dari
sahabat-sahabatku. Aku tidak ingin mereka bertanya-tanya. Aku tak butuh
ditanya.
Tiba-tiba saja aku merasakan ada seseorang
yang duduk di sebelahku. Aku mengangkat wajahku dan melihat Ega, salah satu
teman sekelasku. Dia tersenyum kaku, namun tidak mengucapkan apapun. Aku hanya
membuang mukaku. Berusaha menyembunyikan wajah tanpa topengku. Mengira-ngira
apa yang akan dilakukan atau dikatakan oleh Ega.
Namun Ega
hanya diam. Bahkan dia tidak memandangiku. Sekilas aku melihatnya memainkan
rerumputan yang menjadi alas duduk kami. Sekilas lagi aku melihatnya menerawang
menatap angan. Kehadiran Ega begitu hening, seakan dia tidak ingin
menggangguku. Namun dia tetap di sisiku. Tak beranjak sedetikpun meski
keheningan di antara kami sudah berlangsung hampir empat jam.
Sore lalu
beranjak menjadi senja, dan malampun menjelang. Hingga bulan telah muncul
dengan sempurna, Ega tetap di sampingku. Akhirnya aku mengangkat wajahku dan
mencoba menatapnya. Diapun menatap ke arahku, tersenyum ragu-ragu. Kali ini aku
membalas senyumannya. Lalu senyumnya perlahan tak lagi ragu-ragu.
Aku menghela
nafas panjang sebelum akhirnya kutemukan bibirku bersuara.
“Ga bosen di
sini?” tanyaku pada Ega
“Nggak kok,
tempatnya bagus, anginnya juga enak,” jawab Ega.
Sejenak kami
terdiam. menikmati apa yang melintas di pikiran kami masing-masing.
“Eh, maaf ya
kalo aku ganggu. Aku ga bermaksud ganggu kamu, tapi aku pikir, ga akan aman
ninggalin kamu sendirian di sini,” ucap Ega gugup.
Aku
tersenyum seraya menjawab, ”kamu sama sekali ga ganggu kok.”
Lalu Ega
tersenyum lagi. Detik itu aku menyadari betapa menariknya senyuman Ega. Bersamaan
dengan aku menyadari bahwa di balik kacamatanya, ada mata yang begitu teduh
menenangkan.
“Kamu sering
ke sini?” kata Ega lagi.
Aku menjawab
dengan anggukan.
“Hmm, kalau
emang aku ga ganggu, boleh aku tetap di sini, nemenin kamu?” tanyanya.
Lagi-lagi
aku hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Seraya berbisik di dalam hati, wahai bukitku, kali ini kamu mendapatkan
pengunjung baru.
On the night like this, There are so many things I wanna tell you
On the night like this, There so many things I wanna share you
Cause when you’re around, I feel safe and warm
Cause when you’re around, I can fall in love everyday
In the case like thisThere a thousand good reasons, I want you to stay.
(On The Night Like This- Mocca)