Halaman

Selasa, 18 September 2012

Cinta di Atas Bukit 3


Topeng di wajahku semakin menipis. Aku melangkahkan kakiku cepat-cepat meninggalkan gerbang sekolah. Syukurlah tak banyak kawan yang kukenal yang harus kulewati. Entah apa aku masih bisa mengumbar senyum di tengah kegundahan dan kesedihan hati ini.

Aku berlari kecil menuju gundukan tanah menyerupai bukit di belakang gedung sekolahku. Tempat di mana aku tanpa sepengetahuan kawan-kawanku biasa menghabiskan sore sendirian. ‘Bukit’ ini tidak terlalu jauh dari sekolah, namun entah kenapa tidak banyak orang yang datang ke sini. Mungkin desas-desus mengenai keangkeran tempat ini membuat dia kehilangan pengungjung. Meski demikian ‘bukit’ ini masih memiliki seorang pengunjung setia. Aku.

Sesampainya di puncak, aku langsung duduk di bawah satu-satunya pohon di sini. Menumpahkan segala gundah dan kesedihan melalui air mata yang kini tumpah tanpa bisa kutahan. Kulepaskan topeng yang sedari tadi kukenakan. Tidak ada lagi senyum yang terpaksa kulengkungkan. Tidak ada lagi keceriaan yang kubuat-buat selama seharian ini.

Pagi tadi aku terbangun dan mendapati Mama sedang berbicara di telefon dengan seorang Bude.
“Aku sudah tidak bisa lagi mempertahankannya, Mbak. Hatiku selalu sakit ketika membayangkannya tidur dengan perempuan lain.” Suara Mama seketika berubah menjadi isakan kecil. Mama hening sejenak sebelum melanjutkan, “aku rasa satu-satunya jalan adalah cerai. Besok aku akan urus ke pengadilan.”

Aku terhenyak. Tanpa kusadari kututup pintu kamarku dengan cukup keras. Aku kembali ke tempat tidur, menutup kupingku kencang-kencang, dan setengah mati menahan tangisan. Rupanya suara pintu yang kututup menyadarkan Mama bahwa anak semata wayangnya sudah bangun dan mendengarkan percakapan di telefon barusan. Mama langsung menyudahi pembicaraan dengan Bude, dan perlahan masuk ke dalam kamarku.

Aku masih terdiam. Masih dalam posisi kedua tanganku menutupi kupingku. Mama menghampiriku. Tangisannya membuatku tersadar, dan meengok ke arahnya. Mama memeluku, seraya berbisik, “kita harus kuat, Nak. Selama kita berdua kita pasti kuat.” Aku pun membalas pelukannya dan berjanji dalam hati, ‘aku harus kuat di hadapan Mama. Aku tidak boleh menangis di depannya.’

Begitulah, aku tetap menjadi gadis Mama yang ceria, yang tak pernah pelit menumbar senyum dan sapa, dan tak pernah bosan mendengarkan kawan-kawanku yang seringkali berkeluh kesah dengan masalah mereka. Rani yang berkeluh kesah uang jajannya dipotong karena pulang malam, atau Risa yang mengeluh karena tidak dibelikan ponsel keluaran terbaru. Seandainya mereka mengetahui masalahku. Sempat terlintas keinginan untuk menceritakan kepada mereka, tapi sulit rasanya mengungkapkan segala sesuatu yang masih menyesak di dada.

Seharian ini aku tak sabar menunggu bel pulang, agar aku bisa menumpahkan segala air mataku di bukitku. Aku hanya butuh meluapkan segala kesedihanku, melepaskan segala gundahku, agar aku merasa lega. Aku sengaja menyembunyikannya dari sahabat-sahabatku. Aku tidak ingin mereka bertanya-tanya. Aku tak butuh ditanya.

 Tiba-tiba saja aku merasakan ada seseorang yang duduk di sebelahku. Aku mengangkat wajahku dan melihat Ega, salah satu teman sekelasku. Dia tersenyum kaku, namun tidak mengucapkan apapun. Aku hanya membuang mukaku. Berusaha menyembunyikan wajah tanpa topengku. Mengira-ngira apa yang akan dilakukan atau dikatakan oleh Ega.

Namun Ega hanya diam. Bahkan dia tidak memandangiku. Sekilas aku melihatnya memainkan rerumputan yang menjadi alas duduk kami. Sekilas lagi aku melihatnya menerawang menatap angan. Kehadiran Ega begitu hening, seakan dia tidak ingin menggangguku. Namun dia tetap di sisiku. Tak beranjak sedetikpun meski keheningan di antara kami sudah berlangsung hampir empat jam.
Sore lalu beranjak menjadi senja, dan malampun menjelang. Hingga bulan telah muncul dengan sempurna, Ega tetap di sampingku. Akhirnya aku mengangkat wajahku dan mencoba menatapnya. Diapun menatap ke arahku, tersenyum ragu-ragu. Kali ini aku membalas senyumannya. Lalu senyumnya perlahan tak lagi ragu-ragu.

Aku menghela nafas panjang sebelum akhirnya kutemukan bibirku bersuara.
“Ga bosen di sini?” tanyaku pada Ega
“Nggak kok, tempatnya bagus, anginnya juga enak,” jawab Ega.
Sejenak kami terdiam. menikmati apa yang melintas di pikiran kami masing-masing.
“Eh, maaf ya kalo aku ganggu. Aku ga bermaksud ganggu kamu, tapi aku pikir, ga akan aman ninggalin kamu sendirian di sini,” ucap Ega gugup.
Aku tersenyum seraya menjawab, ”kamu sama sekali ga ganggu kok.”

Lalu Ega tersenyum lagi. Detik itu aku menyadari betapa menariknya senyuman Ega. Bersamaan dengan aku menyadari bahwa di balik kacamatanya, ada mata yang begitu teduh menenangkan.
“Kamu sering ke sini?” kata Ega lagi.
Aku menjawab dengan anggukan.
“Hmm, kalau emang aku ga ganggu, boleh aku tetap di sini, nemenin kamu?” tanyanya.
Lagi-lagi aku hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Seraya berbisik di dalam hati, wahai bukitku, kali ini kamu mendapatkan pengunjung baru.

On the night like this, There are so many things I wanna tell you 
On the night like this, There so many things I wanna share you 
Cause when you’re around, I feel safe and warm 
Cause when you’re around, I can fall in love everyday 
In the case like thisThere a thousand good reasons, I want you to stay. 
(On The Night Like This- Mocca)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar