Halaman

Minggu, 09 September 2012

Cinta di atas Bukit 1


Kalau bukan dia, mungkin sampai kapanpun aku tak akan pernah siap

Ega,
Bogor, 9 September 2012
Seperti biasanya bukit kami selalu indah. Ah, tentu saja bukan bukit sungguhan. Hanya segunduk tanah di belakang sekolah kami dulu. Rerumputan yang tumbuh tak beraturan, lalu di berbagai tempat bunga-bunga yang tumbuh mulai bermekaran. Tapi keindahan bukit ini bukan sekedar di rerumputan hijaunya. Bukan pula di bunga warna warni yang tengah bersemi.

Sekar. Sahabatku, yang diam-diam juga telah menempati sebuah ruang besar di dalam hatiku. Kekasihku.

“Angin di sini tu selalu pas ya. Ga teralu kencang, tapi juga cukup sejuk,” ucap Sekar.

Kata yang selalu dia ulang setiap kami melewatkan waktu berdua di bukit. Entah sejak kapan tepatnya, aku tak mencatat tanggalnya. Sejak aku menemukannya menangis seraya duduk di atas batu. Sekar yang populer dan terkenal sebagai perempuan yang ceria dan selalu tegar. Tempat kawan-kawannya mencurahkan perasaan, dan selalu diladeninya dengan sabar dan bijaksana. Sebelumnya aku jarang berinteraksi dengannya. Namun sejak aku melihatnya berair mata dan memberanikan diri duduk di sampingnya. Sejak saat itu, tanpa terucap, kami selalu kembali ke bukit kami. Berdua, sekedar menikmati semilir angin, dan mengawasi hampir setiap tangkai bunga yang tumbuh di sekitar satu-satunya pohon di bukit kami. Tempat favorit kami.

“Ga, Ga, tuhkan, kamu pasti ga denger ya aku ngomong dari tadi?”
“Eh, Maaf Kar, kenapa?”
“Kamu tu tumben amat bengong gitu, dari tadi ngeliatin aku ga jelas. Katanya ada yang mau diomongin?”
***
Sekar,
Bogor, 9 September 2012
Angin di bukit kami tak pernah berubah. Satu-satunya tempat dimana aku merasa nyaman, dan bahkan merasa bisa menjadi diriku sendiri. Bebas mengkhayal dan bermimpi. Apalagi sejak dia muncul di dalam hidupku. Berbagi berbagai hal tanpa merasa sungkan, tanpa merasa khawatir. Ega. Si kutubuku sekolah, yang setiap hari duduk di kursi paling depan. Dulu kami jarang bertegur sapa. Matanya selalu berada di balik buku. Bahkan waktu istirahatpun, seringkali dia lewatkan dengan membaca.

Lalu suatu hari secara ajaib dia hadir ke hidupku. Ketika aku sedang sedih menghadapi perceraian Mama Papaku. Aku hanya bisa mengadu melalui air mata yang kutumpahkan ketika ku sendirian. Saat itulah aku merasa ada seseorang duduk di sebelahku. Ega, dia hanya memandangku, dan tersenyum malu-malu. Lalu perlahan senyumnya tak lagi ragu-ragu. Tanpa bertanya, tanpa bicara, dia tetap di sisiku. Tidak memaksaku bercerita, dan membiarkanku menumpahkan air mata.

Sejak saat itu, kami pun selalu menikmati bukit kami. Meski kelulusan tak terelakan, dan kami melanjutkan studi kami di kampus masing-masing. Namun tanpa janji, setiap minggunya, bukit kami selalu menjadi tempat sempurna untuk kami berdua.

Selama dua tahun, kami terpaksa pergi sendiri-sendiri. Lantaran setelah lulus kuliah, Ega memutuskan untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ketika dia pulang, justru aku yang berhasil mendapatkan beasiswa yang kuincar sejak aku di tingkat akhir S1 ku. Begitu aku kembali, Ega langsung menelfonku meminta bertemu. Dia berkata ada hal yang ingin disampaikan. Entah kenapa, sejak telefonnya itu, jantungku berdegup tak karuan.

Di sinilah kami sekarang, di bukit kami. Namun sejak tadi, Ega lebih banyak diam. Sempat dia menatapku, kukira dia mendengarkanku bicara. Tapi jangankan mendengar kata-kataku. Sepertinya pikirannya berkelana entah dimana.

“Ga, kok bengong lagi si?”
“Maaf Kar. Ada yang ingin aku bicarakan, serius denganmu.”
Deg, jantungku berdegup semakin cepat. Tatapan Ega tajam menuju mataku, dan terasa hingga ke jantungku.
***
Ega,
Bogor, 30 Juli 2010
Kami baru saja lulus kuliah. Aku langsung mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi S2ku. Hari ini,  aku bertekad untuk menyampaikan perasaanku pada Sekar. Perasaan yang entah sejak kapan muncul di dalam hatiku. Mungkin karena terbiasa, mungkin juga sudah tumbuh sejak awal kami betemu.

 “Ga, ga terasa ya, akhirnya kita lulus kuliah.”
“Yup! Empat tahun selesai, kuliah beres, tinggal kerja, terus kawin deh.”
“Huahahaha, kawin?”
“Yaiyalah, emang kamu ga kepengen kawin?”
“Belom siap Ga.”
“kenapa?”
“Aku belum siap melepaskan semua mimpi-mimpi aku.”
“Loh, emangnya kalo kawin kamu harus melepaskan mimpi-mimpi kamu?
“Yah, kamu kayak ga tau aja di Indonesia ini, perempuan tu dibebankan pekerjaan rumah tangga. Jadi kalau udah nikah, ujung-unjungnya pasti sibuk ngurusin suami, ngurusin anak, dan lain sebagainya. Kalo sudah begitu, impian-impian aku yang banyak itu, kapan dikejarnya?”
“Hahaha, emang pasti gitu? Cari suaminya jangan yang patriarkis donk.”
“Nah itulah susahnya di Indonesia. mana ada cowok yang mau ngerti kalau kerjaan rumah tangga tu juga pekerjaan laki-laki. Bahwa masak, nyuci, dan lain sebagainya itu juga ga aneh kalau dikerjakan laki-laki. Coba, mana ada laki-laki yang ketika istrinya ingin menggapai mimpinya, sementara ada kebutuhan pengasuhan dan pendidikan anak, terus demi mendorong si istri menggapai mimpi dia mau berhenti kerja dan mengurus anaknya plus mengurus rumah tangga?“
“Jadi kamu pengen punya suami yang mau di rumah, sementara kamu sibuk mengejar impian kamu di luar rumah?”
“Ya ga gitu juga, kan bisa diomongin sama-sama. Impianku apa, impian suamiku apa, kapan kita bisa sama-sama lari, kapan kita harus gantian lari. Tapi kenyataannya selama ini kan ga ada laki-laki yang mendukung istrinya seperti itu. Ngasih izin aja, udah dianggap mendukung, padahal kan ga sesederhana itu. Sebaliknya, perempuan selalu dituntut untuk mau berkorban dalam situasi seperti itu.”

Aku terdiam menyimak ucapanmu. Tidak mengangguk, tidak pula membantah.

“Kecuali kalau”
“Kalau apa?”

Sekar hanya diam tak menjawab, lalu malah sibuk menceritakan pengalaman barunya sebagai wartawan.

Kalau saja aku tetap maju. Tetap menyampaikan perasaanku, mengajaknya menikah, dan membawanya menyertaiku menjalani studiku ke negeri kanguru. Tapi aku terlalu takut akan penolakan. Aku melewatkan kesempatan itu.
***
Sekar,
Bogor, 30 Juli 2012
Aku yang diam-diam memendam rasa sejak SMA, ingin menyampaikan perasaanku pada Ega. Hari ini, di bukit kami, kubulatkan tekadku. Kukuatkan hatiku, aku tak peduli, risiko apapun yang akan datang, aku tak bisa diam lagi. Namun ternyata, tekadku bisa kandas juga. Ega pamit untuk melanjutkan studinya ke Australia. Membuatku tiba-tiba merasa hampa.

Lalu entah bagaimana, kami bicara soal pernikahan. Secara spontan dan salah tingkah aku bilang aku belum siap, dengan segala alasan yang kubuat, yang sebenarnya bisa terbantahkan kalau saja.

 “Kecuali kalau”
“Kalau apa?”

Seandainya aku berani, mengucapkan kata-kata yang menyangkut di kerongkonganku, ‘kecuali kalau kamu yang menjadi suamiku.’
***
Ega
Bogor, 9 September 2012
Inilah saatnya. Aku yakin sekaranglah waktu yang tepat. Aku tahu risikonya. Tapi aku tak sanggup kehilangan kesempatan untuk meraih impianku. Dua tahun lalu aku melewakan kesempatanku. Tapi tidak kali ini.

Sekar
Bogor, 9 September 2012
Ega, seandainya dia tahu. Sejak dia jauh, aku terpaksa mendatangi bukit kami sendirian. Berbicara dengan angin, berharap angin bisa menerbangkan rinduku kepadanya yang di seberang lautan. Sejak saat itu aku mengerti rindu, sejak saat itu aku tahu rasanya cemburu.

Ega, apakah gerangan yang ingin dia sampaikan. Entah kenapa, harapan-harapan tentang dia, tentang rasaku padanya muncul tiba-tiba. Aku tak sanggup menahan degup jantungku yang begitu kencang. Aku takut dia mendengar.
***
Ega dan Sekar,
Bogor 9 September 2012
“Sekar, aku ingin kamu menjadi istriku.”
Sekar terdiam. Tak menjawab, hanya pipinya yang terlihat merona, dan matanya yang bersinar lembut.
“Aku mencintai kamu, Sekar. aku mencintai impianmu, termasuk mencintai segala risiko menjadi suami kamu.”
“Ga,”
“Aku serius Sekar. Ga ada yang lebih membuat aku bahagia, selain dengan membahagiakanmu. Dan ga ada yang paling aku inginkan, selain mengejar mimpi dan menjalani hidup bersamamu.
“Ga, sekarang giliran aku yang bicara. Aku mau.”
“Serius? Tapi kamu..." Suara Ega terhenti.
Sekar menatap Ega, dengan pandangan bertanya.
Kamu, siap nikah kan?”
Sekar tersenyum. matanya menatap Ega lembut, dengan penuh keyakinan, dia menjawab,
“Iya, Ga, kalau denganmu, aku siap. Aku tau kamu, aku tau cara kamu memandang relasi suami istri. Aku tau impianmu, dan aku yakin, impianmu, impianku, akan menjadi impian kita, dan kita bisa raih bersama.”
Ega pun memeluk Sekar. Mendekapnya lembut, merasakan setiap energi cinta yang mengalir di antara mereka.
“Aku akan membahagiakanmu Kar,” janji Ega.
“Kalau bukan kamu Ga, mungkin sampai kapanpun aku tak akan pernah siap,” bisik Sekar.
***
Terinspirasi dari lagu Perahu Kertas, Maudy Ayunda
Betapa ajaib hidup ini
Mencari-cari tambatan hati
Kau sahabatku sendiri
Hidupkan lagi mimpi-mimpi
Cita-cita
Berdua ku bisa percaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar