Halaman

Rabu, 12 September 2012

Cinta di Atas Bukit 2


Namamu Fajar Pandega. Fajar artinya pagi. Sebagaimana aku selalu menanti pagi yang hangat, seperti itu pula aku menghitung hari menanti kepulanganmu. Semenjak hari itu ketika kita bertemu di bukit belakang sekolah. Sebuah gundukan rumput saja sebenarnya. Tempat kita biasa berbagi cerita, berbagi rasa berbagi mimpi.

Kita duduk berdua di bawah satu-satunya pohon yang ada di sana. Tempat favorit kita, seperti biasa. Tapi ada yang tidak biasa. Kamu tampak gelisah. Tatapan matamu menerawang tak tentu arah. Aku mencoba menerka, namun ternyata aku tak mampu membaca.

Hari ini, kita merayakan kelulusan kita berdua saja. Dalam hening yang menyenangkan, menikmati lagu indah dari semilir angin dan dedaunan yang saling bergesekan. Kamu tahu? Hanya denganmu aku merasa nyaman untuk melakukan apa saja. Bahkan dalam kesunyian di antara kita. Dari dulu aku percaya, kesunyianan bukan berarti canggung. Namun baru denganmulah aku bisa menikmati kesunyian, tanpa kekakuan. Kita tak perlu bicara, hanya duduk berdampingan, dan sama-sama menikmati keindahan yang tercipta di sekitar kita.

Lalu, tiba-tiba suaramu memecah keheningan.
“Kar, setelah wisuda nanti, aku akan langsung meneruskan studiku.”
“Ohya? Wiihh, Hebat. Beasiswa? Selamat ya,” seruku senang.

Kamu tersenyum sekilas. Sekilas saja. Aku bertanya-tanya. Bukankah seharusnya kamu gembira? Bukannya kamu tidak terlihat bahagia, hanya saja sepertinya ada hal yang berat yang mengganjal di benakmu. Aku tersenyum seraya memandangmu, lagi-lagi mencoba menerka, menyelidiki apa yang ada di balik wajahmu.

“Kar, aku akan S2 di Australi,” ucapmu sangat pelan dan hati-hati. 

Namun telingaku sanggup menerima ucapanmu. Mencernanya di dalam otaku. Aku terdiam, menahan segala rasa yang tiba-tiba bergejolak di hatiku, menuntut untuk diteriakan. Bibirku menjadi kelu. Namun aku tetap mencoba tersenyum. Entah seperti apa senyum itu di matamu, mungkin terlihat palsu. Tapi asal kamu tahu, saat itu aku berusaha keras membentuk lengkungan manis di bibirku.

Di depan mataku terbersit bayangan perpisahan. Aku tak mampu lagi mengendalikan setiap kata yang terucap dari bibirku setelah itu. Jiwaku tiba-tiba hampa, ada yang pergi entah kemana.  

Dan di sinilah aku, di bukit kita, hampir setiap pagi. Melewati pagi demi pagi. Mencoret tanggal demi tanggal, menghitung hari, menantikan kedatanganmu.

Seandainya saat itu aku tak menahan rasaku yang bergejolak. Seandainya aku meneriakan apa saja yang ada di benakku.

Pagi, jangan pergi,
 Kutakut malam nanti ku masih sendiri
 Dan pagimu tak lagi indah
 (Pagi, by Dialog Dini Hari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar