Gigitanku di
bibir bawahku semakin keras karena setengah mati menahan tangis. Meski tak
sanggup tersenyum, namun takkan kubiarkan sebutirpun air mata jatuh di
hadapanmu. Sementara kamu hanya diam memandangiku. Tanpa kamu sadar bahwa aku
sudah hampir tak kuat berdiri.
Kamupun menarik
napas panjang, sebelum berkata, “Ras, kamu berhak mendapatkan seseorang yang
lebih baik.” Akhirnya kalimat klise itu keluar juga dari mulutmu. Kalimat yang
membuatku tertawa miris. Dari dulu aku paling muak dengan alasan semacam itu. Jangan
kamu pikir aku tak tahu. Intinya kamu berhenti menginginkanku, itu saja. Alasan
‘berhak mendapatkan yang lebih baik’ hanyalah omong kosong.
Namun aku
tak mendebatmu. Hanya tersenyum sekilas, dan berlalu meninggalkanmu. Aku tak
lagi bertanya-tanya apa yang membuatmu berubah. Tak lagi mencari-cari
kesempatan untuk tetap mempertahankan hubungan kita. Kalimat klisemu berarti
satu, kita telah usai. Itu saja.
Tiba di
rumah, aku menangis sejadi-jadinya. Merasakan segala harapan yang hancur lebur
berantakan. Segala gengsi dan tinggi hati yang tadi terjaga rapi di hadapanmu,
kini runtuh. Hanya menyisakan air mata dan sesak di dada, yang entah berapa
lama harus kurasa. Karena aku masih begitu mencintaimu, sangat mencintaimu.
Bayangan
tentangmupun muncul layaknya adegan demi adegan film yang diputar di dalam
sanubariku. Dimulai ketika kita pertama kali bertemu. Masih begitu jelas,
seakan baru terjadi kemarin.
Hari itu,
seperti biasa aku berangkat ke kampus dengan angkutan umum. Di dalamnya tidak
terlalu ramai, namun tidak terlalu sepi. Ada aku, kamu yang duduk tepat di
depanku, seorang ibu dengan dua anak perempuannya, seorang Bapak bertubuh
gempal, dan seorang perempuan muda yang usianya mungkin sama denganku. Di tengah
perjalanan, seorang pengamen kecil naik dan menyanyikan lagu Darah Juang. Aku merogoh
tas ranselku. Meraih sekotak susu UHT rasa coklat yang memang selalu kusediakan
untuk adik-adik kecil yang mengamen di angkutan umum.
Selesai bernyanyi,
sang pengamen cilik menjulurkan tangannya untuk meminta recehan. Ketika tangan
itu sampai di hadapanku, aku mengulurkan tanganku yang sedari tadi masih tersembunyi
di dalam ransel seraya memegang susu coklat untuknya. Namun kulihat susu
coklatku tidak sendirian. Ada susu coklat lain yang terulur untuk si pengamen
cilik, dengan merk yang sama, ukuran yang sama, bahkan rasa yang sama, dari
tanganmu.
Kita pun
saling bertatapan dan tersenyum sekilas. Sementara si pengamen kecil tidak
segera merih dua susu coklat yang diulurkan kepadanya.
“Eh, saya
ambil yang mana ya?” katanya bingung.
“Hmmm, ambil
dua-duanya aja Dik,” ucapmu seraya tersenyum hangat.
“Yang satu kan
bisa diminum besok, atau bisa juga dibagi ke temanmu,” aku pun ikut menimpali.
Si pengamen
kecilpun meraih kedua kotak susunya sambil tersenyum, sebelum kemudian turun
dari angkutan umum, dan berlari-lari riang ke tepi jalan.
Sejak detik
itu, aku jadi memperhatikanmu. Kamu bukanlah pria tampan dalam khayalanku. Berwajah
jawa, berhidung tidak terlalu mancung, dengan celana bahan, dan kemeja
sederhana. Hanya saja entah kenapa kesederhanaanmu membuahkan kehangatan.
Tak terasa
angkutan umum yang kita tumpangi sudah sampai di depan jalan kampusku. Ternyata
bukan hanya jalan kampusku, melainkan jalan kampus kita. kamu turun di tempat
yang sama, dan kita menyeberang bersamaan. Akhirnya, kitapun memutuskan untuk
berjalan beriringan.
“Kuliah di
sini juga? Tanyamu.
“Iya,”
jawabku.
“Fakultas
apa?” tanyamu lagi
“Fisip. Kamu?”
kali ini aku ikut bertanya.
“Teknik,”
jawabmu.
Lalu kita
sempat terdiam. Canggung, mencari bahan pembicaraan.
Tiba-tiba
kamu mengulurkan tanganmu.
“Ohiya, kita
belum kenalan. Aku Alan,” ucapmu, lagi-lagi dengan senyummu yang begitu hangat.
“Aku Laras,”
ucapku sambil memamerkan senyum termanis yang kumiliki.
Perkenalan
kita, yang berlanjut menjadi sebuah pertemanan. Ketika hari-hariku akhirnya
selalu diisi denganmu. Berangkat dan pulang kampus bersama, Makan siang di Fakultas
Ilmu Budaya, yang letaknya di antara kampusku dan kampusmu, berdiskusi tentang
banyak hal, hingga SMS-SMS manis yang setiap hari selalu memenuh inbox HPku.
Tanpa kamu
sadari, aku belajar banyak hal darimu. Kamu begitu bijaksana dalam melihat
setiap persoalan. Kamu selalu bisa membuatku yakin ketika aku ragu-ragu dalam
membuat keputusan. Kamu mengajarkanku untuk berpikir positif, dan berani
mengambil kesempatan yang ada di hadapanku. Kamu selalu bisa membuatku
bersemangat dan percaya bahwa tak ada yang tak bisa aku lakukan, asal aku mau
berusaha.
Aku yang
sejak awal terkesan denganmu, kemudian mengagumi, dan secara perlahan namun
pasti, jatuh cinta kepadamu. Tak kukira cintaku terbalas. Setelah dua tahun
kita saling mengenal, kamu mengungkapkan perasaanmu. Hari itu adalah hari
paling bahagia untukku. Kamu cinta pertama untukku, pacar pertamaku, pria
pertama yang kuizinkan masuk ke dalam hatiku di usiaku yang tak lagi remaja.
Seandainya kamu
ingat. Sesaat setelah kita jadian dulu, kita saling bergenggam tangan, seraya
mendengar sebuah lagu. Aku sempat berbisik di telingamu, memintamu menyimak
sepenggal lirik lagu itu, “Tuh, dengerin ya Lan.” Kamu hanya tersenyum, seraya
membelai rambutku.
Bila suatu saat kau harus pergi
Jangan paksa aku tuk cari yang lebih baik.
Karena senyumu menyadarkanku
Kaulah cinta pertama dan terakhirku
-Sherina-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar