Halaman

Sabtu, 15 September 2012

Pertama dan Terakhir


Gigitanku di bibir bawahku semakin keras karena setengah mati menahan tangis. Meski tak sanggup tersenyum, namun takkan kubiarkan sebutirpun air mata jatuh di hadapanmu. Sementara kamu hanya diam memandangiku. Tanpa kamu sadar bahwa aku sudah hampir tak kuat berdiri.

Kamupun menarik napas panjang, sebelum berkata, “Ras, kamu berhak mendapatkan seseorang yang lebih baik.” Akhirnya kalimat klise itu keluar juga dari mulutmu. Kalimat yang membuatku tertawa miris. Dari dulu aku paling muak dengan alasan semacam itu. Jangan kamu pikir aku tak tahu. Intinya kamu berhenti menginginkanku, itu saja. Alasan ‘berhak mendapatkan yang lebih baik’ hanyalah omong kosong.

Namun aku tak mendebatmu. Hanya tersenyum sekilas, dan berlalu meninggalkanmu. Aku tak lagi bertanya-tanya apa yang membuatmu berubah. Tak lagi mencari-cari kesempatan untuk tetap mempertahankan hubungan kita. Kalimat klisemu berarti satu, kita telah usai. Itu saja.

Tiba di rumah, aku menangis sejadi-jadinya. Merasakan segala harapan yang hancur lebur berantakan. Segala gengsi dan tinggi hati yang tadi terjaga rapi di hadapanmu, kini runtuh. Hanya menyisakan air mata dan sesak di dada, yang entah berapa lama harus kurasa. Karena aku masih begitu mencintaimu, sangat mencintaimu.

Bayangan tentangmupun muncul layaknya adegan demi adegan film yang diputar di dalam sanubariku. Dimulai ketika kita pertama kali bertemu. Masih begitu jelas, seakan baru terjadi kemarin.

Hari itu, seperti biasa aku berangkat ke kampus dengan angkutan umum. Di dalamnya tidak terlalu ramai, namun tidak terlalu sepi. Ada aku, kamu yang duduk tepat di depanku, seorang ibu dengan dua anak perempuannya, seorang Bapak bertubuh gempal, dan seorang perempuan muda yang usianya mungkin sama denganku. Di tengah perjalanan, seorang pengamen kecil naik dan menyanyikan lagu Darah Juang. Aku merogoh tas ranselku. Meraih sekotak susu UHT rasa coklat yang memang selalu kusediakan untuk adik-adik kecil yang mengamen di angkutan umum.

Selesai bernyanyi, sang pengamen cilik menjulurkan tangannya untuk meminta recehan. Ketika tangan itu sampai di hadapanku, aku mengulurkan tanganku yang sedari tadi masih tersembunyi di dalam ransel seraya memegang susu coklat untuknya. Namun kulihat susu coklatku tidak sendirian. Ada susu coklat lain yang terulur untuk si pengamen cilik, dengan merk yang sama, ukuran yang sama, bahkan rasa yang sama, dari tanganmu.

Kita pun saling bertatapan dan tersenyum sekilas. Sementara si pengamen kecil tidak segera merih dua susu coklat yang diulurkan kepadanya.
“Eh, saya ambil yang mana ya?” katanya bingung.
“Hmmm, ambil dua-duanya aja Dik,” ucapmu seraya tersenyum hangat.
“Yang satu kan bisa diminum besok, atau bisa juga dibagi ke temanmu,” aku pun ikut menimpali.
Si pengamen kecilpun meraih kedua kotak susunya sambil tersenyum, sebelum kemudian turun dari angkutan umum, dan berlari-lari riang ke tepi jalan.

Sejak detik itu, aku jadi memperhatikanmu. Kamu bukanlah pria tampan dalam khayalanku. Berwajah jawa, berhidung tidak terlalu mancung, dengan celana bahan, dan kemeja sederhana. Hanya saja entah kenapa kesederhanaanmu membuahkan kehangatan.

Tak terasa angkutan umum yang kita tumpangi sudah sampai di depan jalan kampusku. Ternyata bukan hanya jalan kampusku, melainkan jalan kampus kita. kamu turun di tempat yang sama, dan kita menyeberang bersamaan. Akhirnya, kitapun memutuskan untuk berjalan beriringan.
“Kuliah di sini juga? Tanyamu.
“Iya,” jawabku.
“Fakultas apa?” tanyamu lagi
“Fisip. Kamu?” kali ini aku ikut bertanya.
“Teknik,” jawabmu.
Lalu kita sempat terdiam. Canggung, mencari bahan pembicaraan.
Tiba-tiba kamu mengulurkan tanganmu.
“Ohiya, kita belum kenalan. Aku Alan,” ucapmu, lagi-lagi dengan senyummu yang begitu hangat.
“Aku Laras,” ucapku sambil memamerkan senyum termanis yang kumiliki.

Perkenalan kita, yang berlanjut menjadi sebuah pertemanan. Ketika hari-hariku akhirnya selalu diisi denganmu. Berangkat dan pulang kampus bersama, Makan siang di Fakultas Ilmu Budaya, yang letaknya di antara kampusku dan kampusmu, berdiskusi tentang banyak hal, hingga SMS-SMS manis yang setiap hari selalu memenuh inbox HPku.

Tanpa kamu sadari, aku belajar banyak hal darimu. Kamu begitu bijaksana dalam melihat setiap persoalan. Kamu selalu bisa membuatku yakin ketika aku ragu-ragu dalam membuat keputusan. Kamu mengajarkanku untuk berpikir positif, dan berani mengambil kesempatan yang ada di hadapanku. Kamu selalu bisa membuatku bersemangat dan percaya bahwa tak ada yang tak bisa aku lakukan, asal aku mau berusaha.

Aku yang sejak awal terkesan denganmu, kemudian mengagumi, dan secara perlahan namun pasti, jatuh cinta kepadamu. Tak kukira cintaku terbalas. Setelah dua tahun kita saling mengenal, kamu mengungkapkan perasaanmu. Hari itu adalah hari paling bahagia untukku. Kamu cinta pertama untukku, pacar pertamaku, pria pertama yang kuizinkan masuk ke dalam hatiku di usiaku yang tak lagi remaja.

Seandainya kamu ingat. Sesaat setelah kita jadian dulu, kita saling bergenggam tangan, seraya mendengar sebuah lagu. Aku sempat berbisik di telingamu, memintamu menyimak sepenggal lirik lagu itu, “Tuh, dengerin ya Lan.” Kamu hanya tersenyum, seraya membelai rambutku.

Bila suatu saat kau harus pergi
Jangan paksa aku tuk cari yang lebih baik.
Karena senyumu menyadarkanku
Kaulah cinta pertama dan terakhirku
-Sherina-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar