Hai Bogor. Apaka kabar?
Apakah kamu masih sejuk seperti dulu, ketika hujan
sering turun, dan membuat rumput-rumputmu membasah indah. Sementara ketika hujan tak turun, kamu begitu terik. Lalu bertambah
panas dengan angkutan umum berwarna hijau yang berseliweran memadati tubuh-tubuh jalananmu. Masihkah kamu menyediakan
malam-malam indah? Dengan berbagai tempat makan murah meriah, dan yang
teristimewa, tentu saja coklat panas di Taman Koleksimu. Sempurna, tak ada
duanya.
Ah, kamu memang menyimpan banyak cerita untuku.
Persahabatan, hingga cinta. Apakah kamu ingat ketika kami berkumpul bersama di
awal sebuah kepengurusan? Mencoba saling mengenal. mengakrabkan diri, lalu
saling menabrak dengan bom-bom car
Taman Topi. Secara tak terencana kami masuk ke museum zoology. Kamu pasti ingat. Ketika beberapa dari kami merayu
petugasnya untuk mendapatkan tiket murah. Karena kami hanya akan ke museum,
tidak ke Kebun Raya. Tiket murah itu, akhirnya kami dapatkan dengan modal KTM (ups, sekarang jadi berasa curang, hehe). Lapar, kamipun berpindah ke Taman
Kencana, saling bicara, juga bernyanyi lagu milik kami sendiri. Menikmati ayam
bakar, sebelum akhirnya berlari-lari kecil karena titik-titik air mulai
membasahimu. Hujan menuntun kami masuk ke kedai Makaronimu yang terkenal,
berbagi menu andalannya, sambil menyeruput coklat panas.
Tahun berikutnya, aku kembali lagi, tak
bosan-bosanya. Kali ini bersama kelompok lain, meski beberapa personel sama.
Lagi-lagi saling tertawa menabrakan diri dengan bom-bom car. Lalu menuju rumah sahabat kami. Numpang makan siang, dan berbincang. Aku tak tahu pesona apa yang
ada di dirimu, hingga membuat kami yang baru mengenal beberapa bulan, merasa
cukup akrab untuk bercerita apa saja. Cita-cita, cinta, bahkan masalah
keluarga. Beberapa kali aku menggigit bibir menahan tangis mendengar cerita
mereka, juga ketika menceritakan ceritaku. Mereka, sahabat-sahabatku tak tahu.
Tapi kamu tahu Bogor, kamu menyaksikannya.
Apakah kamu ingat satu hari di bulan puasa. Aku
hampir kau buat menyerah. Ketika terikmu membakar ubun-ubun hingga
tenggorokanku. Rasanya aku ingin memutus puasaku. Tapi tidak. Tuhan telah begitu
baik memberikanku persahabatan yang indah, yang mengantarkanku menapaki terik
panasmu. Hari itu, aku bersama seorang sahabat menuju kampus negeri terbesar
yang kau miliki. Menghadap rektornya. Dan perjalanan tiga jam itupun, berbuah
sebuah video tiga menit. Sang rektor, ayah dari sahabat kami, memberikan tiga
menit pesan kesan untuk anaknya yang akan berulang tahun.
Wahai Bogor, setiap perjalananku dengan kereta,
selalu menumbuhkan berbagai kenangan, jauh sebelum sampai menyentuh bumimu.
Pernah aku berdesak-desakan dengan rombongan orang-orang berjubah putih dan
berpeci yang jumlahnya ribuan. Pernah aku berdiri tenang, tertawa bersama
sahabat-sahabatku, berimajinasi panjang, dan geleng-geleng keheranan melihat
sahabat kami belajar untuk ujian sambil berdiri di kereta. Pernah ada satu masa
dimana aku menatap nanar perjalanan panjang. Merasa terpaksa menemuimu, di
tengah patah hatiku yang belum sembuh. Karena kamu menyimpan kenangan yang
mampu membuat lukaku terbuka kembali.
Ada masa dimana aku begitu mengagumimu, jatuh cinta
padamu, dan terpikir untuk tinggal dalam buaianmu. Ingatkah kamu ketika aku
menjelajahi beberapa sudutmu? Sebuah kampus, sebuah taman, sebuah museum,
sebuah masjid, sebuah GOR bulu tangkis, sebuah pasar, dan sebuah rumah dalam
satu hari. Saat itu aku sedang kasmaran. Kamu pasti menyaksikan betapa debar
jantungku berdegup terlalu kencang. Betapa sering aku tersenyum dan pipiku memanas.
Kamu adalah titik awal, dimana perasaanku yang sudah dua tahun kupendam,
rasanya ingin menumpah keluar. Lalu kamu menjadi titik awal, dimana sebuah
hubungan indah berjalan, dan tiba-tiba hancur berantakan. Teramat singkat,
teramat brutal, bahkan sebelum aku sempat tersadar.
Tapi tentu saja, ceritaku tak berhenti sampai di
situ. Begitupun kesaksianmu. Kamu lihat kan, betapa kuatnya aku. Saat aku berjalan tanpa menunduk. Daguku kuangkat,
senyumku mengembang. Aku memasuki hall
salah satu hotelmu, berjalan mantap ke arah pelaminan, dan memberikannya
selamat. Tersenyum, aku tahu aku tulus, dan aku baik-baik saja. Kamu,
menyaksikan aku tumbuh menjadi dewasa, menjadi matang, dan lebih bijaksana.
Maka saat ini, kapanpun aku menapakimu. Aku siap
menorehkan berbagai cerita yang baru. Menciptakan langkah ringan, penuh canda
tawa. Memasuki Kedai murah, memesan nasi tim dan es teh manis. Menjelajah
hingga sore, menyeruput coklat panas terenak sedunia. Menunggu malam bersama kawan-kawan,
lalu makan mie kari domba.
Mungkin kamu bukan kota terhebat yang kupilih tuk
berlabuh. Namun selalu ada cerita tentang cinta dan persahabatan setiap kali
aku menyentuh sudut-sudutmu. Semoga kamu tak pernah bosan untuk menyaksikan dan
menyimpan kisahku. Karena aku akan tetap sering mengunjungimu.
24 Januari 2012
Untuk kota sejuta angkot
Aku yang menitipkan jutaan kenangan padamu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar